MENGENAL SUKU TORAJA
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suku Toraja memiliki sedikit gagasan
secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad
ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang
tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak
beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan
hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki
sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi.
"Toraja" (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan Riaja,
dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah
untuk penduduk dataran tinggi. Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih
banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar seperti suku Bugis
dan suku Makassar,
yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi daripada dengan sesama
suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris
Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah
Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di
Tana Toraja.
Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama suku Bugis
(kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang
dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja (petani di
dataran tinggi).
Sebelum abad ke-20, suku Toraja
tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh
oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda
datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar
pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan
oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja
sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat
berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas
beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata
yang terus meningkat.
Suku Toraja adalah suku yang menetap
di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan,
Indonesia.
Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih
tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa.
Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen,
sementara sebagian menganut Islam
dan kepercayaan animisme
yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui
kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Kata toraja berasal dari
bahasa Bugis, to
riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial
Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja
terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan
dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang
penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa
hari.
Dari keterangan tersebut maka
penulis mengangkat sebuah tulisan berjudul “Kebudayaan Toraja dalam Segi
Agama dan Ritual”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian diatas maka
dapatlah dirumuskan permasalahan dalam penulisan tugas final Kebudayaan
Sulawesi selatan ini sebagai berikut :
1.
Bagaimana perkembangan agama dan kepercayaan di Toraja pada masa lampau?
2. Apa
saja yang menjadi ritual-ritual penting yang sering dilaksanakan masyarakat
Toraja?
3.
Bagaimana Prosesi Ritual Rambu Solo di Tana Toraja?
PEMBAHASAN
KEBUDAYAAN TORAJA (PROSES UPACARA
RAMBU SOLOK)
A. Agama dan Kepercayaan
Jauh sebelum masyarakat menganut
Kristen dan Islam, di Toraja telah dikenal suatu kepercayaan yang bersifat
animisme yang bersumber dari leluhur mereka yang disebut Aluk Todolo.
Pada masa sekarang mayoritas masyarakat Toraja menganut Kristen, hanya
sebagian kecil yang menganut agama Islam.
Sebelum masuknya agama, baik kristen
maupun Islam, masyarakat Toraja menganut kepercayaan leluhur yang telah
diwariskan turun temurun sampai saat ini. Masyarakat Toraja percaya bahwa
segala sesuatu yang ada di dunia mempunyai nyawa, bahkan selanjutnya nyawa
manusia hidup terus walaupun mereka sudah meninggal. Kepercayaan dalam
keseharian seperti orang yang sudah meninggal, biasanya diberi makan, minum
bahkan ada saja yang diberikan pada jam makan. Ini menandakan bahwa mereka
percaya seolah-olah si mati ini masih hidup karena selalu diberi kebutuhan
makan dan minum walaupun sudah meninggal atau ma’pakande tomate. [1]
Kepercayaan turun temurun dianggap
sebagai agama dan kepercayaan asli dan lebih dikenal dengan nama Aluk
Todolo. Menurut L. T. Tangdilintin ajaran Aluk Todolo (Aluk adalah agama
aturan, Todolo adalah leluhur). Jadi Aluk Todolo berarti agama
leluhur. Aluk Todolo adalah salah satu bentuk kepercayaan animisme yang
beranggapan bahwa tiap benda atau batu mempunyai kekuatan dan salah satu sistem
religi yang secara religi tradisional telah dianut oleh warga masyarakat Toraja
sejak abad IX Masehi dan tetap diwariskan secara turun-temurun hingga sekarang.
Menurut Tangdilintin, Aluk Todolo
adalah salah satu kepercayaan atau keyakinan yang diturunkan oleh Puang Matua
(Sang Pencipta). Aturan Aluk diturunkan pada Datu Lukku yang berisi aturan
agama bahwa manusia dan segala isi bumi ini harus menyembah. Penyembahan
ditunjukan pada Puang Matua sebagai sang pencipta yang diwujudkan dalam
bentuk sajian. Puang Matua sebagai sang pencipta memberi kekuasaan kepada
deata-deata (sang pemelihara).
Ajaran Aluk Todolo yang memelihara
pemujaan kepada kedua aliran tersebut diatas, dalam ajaran Aluk Todolo dikenal
3 (tiga) golongan deata yaitu:
a. Deata
Tangga Langi Sang (Pemelihara di Langit)
b. Deata Kapadanganna
Sang Pemelihara di Bumi
c. Deata
Tangana Padang, pemelihara menguasai segala isi tanah.
Aluk maka manusia
harus menyembah kepada tiga aturan yaitu:
1. Puang
Matua
2. Deata-Deata
3. Tomembali
Puang[2]
Berdasarkan ketiga aluk diatas
jelaslah bahwa ajaran Aluk Todolo mengkonsepsikan adanya struktur dewa-dewa
yang tersusun vertikal.
Cara penyembahan kepada ketiga pihak
diatas oleh penganut Aluk Todolo dilakukan dengan saji-sajian persembahan.
Persembahan yang dilakukan dengan cara yang berbeda-beda sesuai tingkatannya
masing-masing:
a.
Penyembahan dilakukan terhadap sang pencipta yaitu Puang Matua sebagai upacara
tertinggi dengan mempersembahkan hewan.
b.
Persembahan kepada sang pemelihara yaitu ditujukan kepada deata-deata
(dewa-dewa) dan mempersembahkan korban.
c.
Persembahan kepada Tomembali Puang (pengawas) dilakukan oleh keturunannya untuk
memperingati arwah nenek moyang dan tetap dihormati.[3]
Agama yang dianut sejak dahulu kala
bahkan sampai sekarang meskipun tidak seberapa banyak yang disebut Aluk Todolo
dapat diartikan agama. Aturan atau upacara Todolo artinya leluhur atau nenek
moyang. Jadi maksudnya adalah agama leluhur. Menurut sejarah kebudayaan Toraja.
Aluk Todolo ini telah dianut oleh suku bangsa Toraja sejak kira-kira abad IX,
yang dahulu dikenal dengan ajaran Aluk Pitung Sa’bu Pitung Ratu Pitung Pulo
atau Aluk Sanda Pitunna (ajaran tujuh ribu tujuh ratus tujuh puluh tuju)
sebagai ajaran yang berdasarkan tujuh asas hidup dan kehidupan. Ketujuh asas
ini lahir dari asas animisme tua dengan mendapat pengaruh dari ajaran Kofisius
dan ajaran hidup hindu.
Menurut ajaran Aluk Todolo dikenal
ada tiga unsur yang disembah seperti yang diuraikan oleh L.T. Tandilintin
adalah sebagai berikut:
1. Puang Matua, yaitu unsur kekuatan
yang paling tingg sebagai pencipta segala isi Bumi. Dijelaskan lebih lanjut
bahwa penciptaan makhluk hidup ada delapan unsur yang diciptakan, yaitu nenek
manusia bernama La Ukka, nenek kerbau bernama Manturuni, nenek ayam bernama
Lamem, nenek kapas bernama La Ungku, nenek hujan bernama Pong pirik-pirik, nenek
besi bernama Irako, dan nenek racun bernama Marrante.
2. Deata-deata, ialah unsur yang
diberikan tugs oleh Puang matua untuk memelihara dan menguasai bumi. Secara
umum deata-deata tersebut dapat dibagi atas tiga yaitu:
a. Deata Tangngana Langik (menguasai
dan memelihara langit dan cakrawala)
b. Deata Kapadangan (menguasai dan
memelihara seluruh isi permukaan Bumi)
c. Deata Tangngana (menguasai
dan memelihara segala isi tanah, sungai, dan laut).
3. Tomembali Puang disembah dengan
upacara yang dilaksanakan disebelah barat (Tongkonan atau Tongkonan Layuk) atau
disekitar kubur dimana mayat dikuburkan, dengan korban persembahan berupa babi
dan ayam.
B. Jenis-jenis Ritus
Jenis-jenis upacara ritual
dimasyarakat Toraja dikelompokkan atas dua, yaitu kelompok upacara rambu tukak
(upacara yang berkitan dengan kehidupan) dan upacara rambu solok (upacara yang
berkaitan dengan kematian). Pelaksanaan jenis-jenis upacara yang terdapat dalam
kedua kelompok tersebut tidak boleh dicampur adukkan, satu kelompok harus diselesaikan
terlebih dahulu sebelum memulai upacara pada kelompok yang lain.[4]
a. Upacara Rambu
Tukak
Upacara rambu tukak adalah yang
berkaitan dengan kesyukuran, kesukaan, kelahiran, perkawinan dan keberhasilan
panen, yang diatur dalam Aluk Rampe Mataallo (aturan upacara yang
dilakukan pada saat terbit sampai tengah hari) dengan tempat pelaksanaan selalu
berada disebelah timur Tongkonan atau orientasinya kearah timur.
Tingkatan-tingkatan upacara Rmbu Tukak adalah sebagai berikut:
1.
Kapuran Pangngan (penyajian sirih dan pinang) biasanya dilakukan dirumah tempat
tertentu seperti rumah dengan medium adalah menhir. Tujuannya adalah untuk
menghajtkan bahwa sesuatu kelak akan mengadakan upacara tertentu.
2.
Piong Sanglampa (persembahan satu batang lemang) yang diletakkan dipematang
sawah atau persimpangan jalan yang dialasi dengan pisang, biasanya ditempatkan
pada suatu bongkahan batu, altar, atau dibawah pohon, dengan maksud sebagai
tanda bahwa dalam waktu dekat akan diakan upacara persembahan kurban agar para
deata dan tomembali puang dapat memberi keselamatan.
3.
Menammu, yaitu suatu upacara dengan kurban berupa ayam, babi yang ditujukan
kepada Deata-deata yang menguasai suatu daerah dengan harapan untuk memperoleh
keselamatan dan keberhasilan panen.
4.
Makpakande Deata diong Padang, yaitu upacara kurban yang mempersembahkan seekor
babi atau lebih yang dilaksanakan didepan rumah sisi timur. Biasanya sesajen
diletakkan didepan menhir (basse) yang terdapat pada sudut timurlaut Tongkonan.
Tujuannya untuk keselamatan manusia yang tinggal dirumah Tongkonan.
5.
Massurak Tallang. Yaitu upacara yang dilakukan setelah semua tingkatan upacara
tersebut telah dilakukan, dengan tujuan sebagai tanda ucapan syukur kepada dewa
atas keselamatan dan keberhasilan panen. Korban persembahan yaitu beberapa ekor
babi dan ayam.
6. Merok yaitu
upacara pemujaan kepada Puang Matua dengan korban persembahan utama adalah
kerbau, babi dan ayam. Tujuannya yaitu sebagai tanda syukur tas keselamatan,
keberhasilan panen, selesainya pembangunan Tongkonan atau peresmian To
MembaliPuang menjadi Deata.
7. Upacara menolak
balah, terdiri dari : a) massalu-salu, yaitu upacara yang bertujuan menghindari
cobaan dari penyakit atau rintangan dalam melakukan sesuatu, b) makdampi, yaitu
upacara pengobatan terhadap orang sakit, c) makbungi yaitu upacara mengelilingi
desa untuk memohon kepada deata keselamatan dari malapetaka yang sementara
menimpa masyarakat.
b. Upacara Rambu
Solok
Upacara rambu solok adalah upacara
yang berkaitan dengan kematian dan kedukaan, yang diatur dalam Aluk Rampe
Matampu (aturan upacara yang dilaksanakan pada sore hari).[5]
Kebanyakan dinyatakan dalam upacara Rambu Solok merupakan suatu peristiwa yang
mengandung dimensi religi dan sosial. Berdasarkan stratifikasi sosial maka
upacara kematian di Tana Toraja dapat dibagi atas empat yaitu:
1.
Upacara dislilik, yaitu upacara kematian bagi masyarakat dari tanak kua-kua.
Mayat tidak boleh disimpan bermalam dirumah dan dikuburkan pada sore hari atau
malam hari. Bagi yang tidak mampu secara ekonomis biasanya tanpa disertai
dengan korban dan bagi yang mampu disertai dengan korban beberapa telur ayam
saja atau beberpa ekor ayam dan babi. Mayat dikuburkan digua alam (Liang
Sillik) dengan hanya dibalut kain tanpa mempergunakan wadah erong. Untuk bayi
yang mati sebelum tumbuh giginya, biasanya disillik (dikuburkan) diselah-selah
akar atau didalam batang pohon beringin yang dilubangi.
2.
Upacara dipasangbongi, yaitu upacara kematian yang hanya berlangsung satu malam
terutama bagi masyarakat yang berasal dari tanak karurung, atau dari tanak
bassi dan bulaan yang tidak mampu secara ekonomis. Korban yang dipersembahkan
adalah minimal empat ekor babi dan maksimal delapan ekor kerbau. Mayat yang
dikuburkan di Liang memakai erong, biasanya bentuk erong yang dipergunakan ialah
bentuk persegi panjang.
3.
Upacara didoya, yaitu upacara kematian yang berlangsung tiga malam, lima malam
atau tujuh malam, terutama masyarakat yang berasal dari tanak bassi yang mampu
secara ekonomis atau tanak bulaan atau para keluarga bangsawan tertinggi yang
mampu secara ekonomis. Selama berlangsungnya upacara tersebut, maka peserta
upacara tidak boleh tidur semalam suntuk (didoya). Korban yang dipersembahkan
adalah beberapa ekor babi (biasanya sampai ratusan ekor), dan minimal tiga dan
maksimal 12 ekor kerbau. Tempat pelaksanaan upacara ialah rumah atau tongkonan
masing-masing, kecuali kalau yang mati berasal dari bangsawan tinggi (tanak
bulaan) maka harus diupacarakan di Tongkonan Layuk dan Rante Simbuang.
4.
Upacara dirapai atau rapasan, yaitu upacara kematian bagi yang berasal dari
tanak bulaan yang berlangsung minimal tujuh hari tetapi dapat berlangsung dalam
waktu berbulan-bulan lamanya tergantung kesepian dan kesepakatan keluarga.
Upacara rapasan terdiri dari beberapa tahapan dan memakan waktu yang lama
dengan minimal persembahan korban berupa kerbau sebanyak 12 ekor.
C. Proses Upacara Rambu Solo’
Untuk menghadapi dan mempersiapkan upacara adat Rambu
Solo’, didahului oleh beberapa aktivitas yang berkaitan dengan persiapan
pelaksanaan upacara adat tersebut. Kegiatan-kegiatan pendahuluan sebelum
upacara itu dilaksanakan, yakni acara pertemuan keluarga, pembuatan
pondok-pondok upacar, menyediakan peralatan upacara, dan persediaan
kurban-kurban dalam upacara. Setelah rangkaian awal itu, baru dilaksanakan
upacara yang sebenarnya sesuai tahapan-tahapan berdasarkan keyakinan aluk
todolo.[6]
1.
Pertemuan Keluarga
Pertemuan keluarga orang yang meninggal,
adalah pertemuan seluruh keluarga dari pihak ibu dan pihak ayah. Pertemuan itu
bertujuan segala sesuatu yang berkaitan dengan rencana upacara pemakaman
keluarganya yang meninggal.
Menurut Tangdilintin hal-hal yang
dibicarakan pada pertemuan itu, antara lain seperti masalah ahli waris, tingkat
upacaranya, persiapan upacara/tingkat upacara mana yang akan dilakukan,
persediaan hewan-hewan kurban sekaligus memperhatikan status sosial atau kasta
orang yang meninggal tersebut.
Pertemuan keluarga itu, berupaya
untuk mengambil keputusan dan harus disetujui oleh semua pihak utamanya ahli
waris/keturunannya. Pertemuan seperti itu juga dihadiri oleh ketua-ketua adat
dan pemerintah. Secara rinci keputusan yang harus diambil dalam pertemuan
keluarga itu, adalah pertama penentuan/kesepakatan tentang tingkat upacara
pemakaman. Tingkat upacara itu disesuaikan dengan kemampuan menyediakan hewan
kurban dan strata sosial orang yang meninggal. Tingkat upacara itu disesuaikan
dengan kemampuan menyediakan hewan kurban dan strata sosial orang yang
meninggal. Kedua penentuan jumlah hewan kurban berdasarkan hewan-hewan yang
disiapkan oleh ahli waris maupun bukan ahli waris. Ketiga, juga disepakati
mengenai tempat pelaksanaan upacara, misalnya rumah tempat meninggalnya atau
ditetapkan ditongkonan. Keempat membicarakan mengenai persiapan pondok upacara.
Persiapan itu yang disiapkan sepenuhnya oleh keluarga inti, tapi ada juga
disiapkan oleh tiap-tiap keluarga ahli waris dan bukan ahli waris.
Persiapanpondok-pondok upacara dikerjakan secara gotong royong dibantu
masyarakat sekitar.
2.
Pembuatan Pondok Upacara
Pembuatan pondok upacara ada dua
macam, yakni pondok upacara dihalaman rumah orang yang meninggal dan pondok
upacara dihalaman dilapangan upacara. Pondok-pondok itu diatur secara teratur
mengelilingi tempat jenazah (tempat mengatur acara pemakaman), yang diatur oleh
petugas-petugas upacara. Termasuk dalam hal ini penyiapan pondok-pondok tempat
menginap para tamu.
Pondok-pondok yang dibangun
tersebut, juga harus disesuaikan dengan kasta tau strata sosial orang yang akan
diupacarakan. Itulah sebabnya sehingga setiap upacara pemakaman (setiap
kelompok keluarga) terlihat perbedaan-perbedaan ragam hias pada pondoknya,
misalnya ada yang berukir, menggunakan/memasang longa (bangunan menjulang
tinggi).
3.
Persediaan Peralatan Upacara
Persediaan alat-alat upacara,
termasuk alat yang berkaitan dengan upacara, peralatan makan, peralatan tidur
dan lain-lain. Dalam kaitan dengan peralatan upacara misalnya
perhiasan-perhiasan, alat saji dan kurban. Menurut Tangdilintin
peralatan-peralatan upacara yang tidak boleh kurang dan semestinya, seperti
tombi-tombi, gendang, bombongan dan beberapa macam pandel atau bendera upacara.
Termasuk dalam persiapan ini adalah Tau-tau (patung orang yang meninggal),
khususnya dalam upacara tingkat Rapasan.
4. Petugas Upacara
Petugas-petugas upacara pemakaman di
Toraja dikenal dengan istilah “Petoe Aluk To Mate”. Petugas-petugas itu
disebutkan oleh Tangdilintin yakni; To Mebalun atau To Ma’kayo atau Tomebakka.
Adalah orang yang mempunyai tugas tetap memimpin dan membina upacara pemakaman.
Orang itulah pada saat upacara berlansung pemegang acara yang selalu ditandai
dengan bunyi gendang termasuk membacakan mantra. To Ma’pemali, yaitu orang yang
khusus merawat dan melayani jenazah dan menjaganya selama upacara berlansung.
Orang itu tidak lepas duduknya dari sisi jenazah dengan menggunakan penutup
kepala. Tugas itu harus diemban oleh keluarga terdekat seperti suami kalau
istri yang meninggal dan sebaliknya. To Ma’kuasa, orang yang tugasnya sebagai
pembantu umum dalam pelaksanaan upacara. Petugasnya biasanya dari kasta
terendah (kua-kua).
Petugas selanjutnya, adalah To
Ma’sanduk Dalle, yaitu seorang wanita yang khusus melakukan pekerjaan untuk
menyiapkan nasi bagi jenazah yang akan dimakamkan. Petugas itu juga biasanya
dari biasanya dari kasta rendah. To dibulle Tangnga, yaitu seorang wanita yang
bertugas khusus menghubungkan antara petugas-petugas upacara lain dan kaitannya
sajian-sajian. To sipalakuan, yaitu orang bertugas mengurusi semua kebutuhan
perawatan jenazah dan kebutuhan upacara. To Ma’toe Bia’, yaitu seorang
laki-laki yang bertugas menyalakan api dan memegang obor selama upacara
berlangsung. To Masso’boi Rante, yaitu seorang wanita yang bertugas membuka
jalan masuk dihalaman atau lapangan upacara rante. To Mangengnge Baka Tau-tau,
yaitu orang yang khusus membawa tempat pakaian dari pada patung.
5.
Peralatan-peralatan Upacara Pemakaman
a.
Tombi saratu, yaitu fandel dari kain panjang yang bercorak-corak seragam
besarnya coraknya menggambarkan keagungan dan ketinggian upacara pemakaman dn
hanya digunakan oleh kasta bangsawan tinggi Toraja.
b.
Tombi-tombi, yaitufandel dari kain panjang kecil yang mengartikan bahwa upacara
ini didukung oleh keluarga dari semua lapisan, baik keluarga tinggi maupun
keluarga besar sama-sama mempunyai kewajiban dan pengabdian.
c.
Tombi Tarun-Tarun, yaitu fandel yang terbuat dari potongan-potongan kain yang
disambung-sambung bermakna bahwa upacara pemakaman ini bercita-cita akan
mencapai kesempurnaan dan turunannya akan mendapat keberuntungan.
d.
Tuang-tuang, yaitu tanda upacara sebagai upacara Aluk Todolo yang menganut
ajaran turun temurun dalam membina arwah leluruh dalam empat penjuru alam.
e.
Sarita sebagai lambang ketenangan dan kesabaran dalam pengabdian kepada orang
tua.
f.
Maa’ yaitu kain ukir menggambarkan kemuliaan dan keagungan dari orang Toraja.
g.
Gandang/gendang yaitu gendang yang dipukul sebagai pengatur dan tanda peralihan
acara-acara pemakaman.
h.
Bombongan yaitu gong yang ditabu menandakan tangis kepiluan bagi
keluarga-keluarga bangsawan orang Toraja sebagai tanda, yang terus menerus
dibunyikan pada waktu upacara berlansung.
i.
Disamping peralatan-peralatan tersebut masih ada beberapa peralatan/ perhiasan
pusaka yang dipakai pada dekorasi pondok-pondok upacara, antara lain keris yang
disebut gayang, manik-manik dan lain-lain.[7]
D. Pelaksanaan Upacara Rambu
Solo
Hari Pertama.
Upacara pada hari pertama disebut
Ma’kru’dusan. Dalam upacara ini dilakukan kurban hewan pertama. Pada hari itu
juga dilakukan perubahan letak jenazah dan sekaligus pada saat itu juga berubah
status mayat sebagai To Makula menjadi orang yang benar-benar dianggap telah
meninggal. Pada hari itu dikuburkan kerbau dan babi. Acaranya dimulai pada sore
hari hingga malam bahkan berlansung semalam suntuk dengan menyaksikan
nyanyian-nyanyian duka yang dilakukan berbentuk seni bernyanyi yang disebut
Ma’badong.[8]
Hari Kedua.
Upacara hari kedua disebut Ma’doya
tangnga. Pada hari itu keluarga yang berduka mulai menerima tamu-tamu dari
berbagai unsur-unsur dan kedatangan tamu itu secara rombongan/sesuai adat.
Tamu-tamu yang datang biasanya berkelompok, pada saat itu juga ada diantara
keluarga yang datang membawa sumbangan berupa kerbau, babi, makanan bahkan ada
yang membawa uang. Dalam kelompok itu ada juga yang tidak membawa apa-apa,
namun dalam pelayanannya tetap disamakan. Kedatangan tamu dari seluruh unsur
masyarakat dan pihak keluarga dalam arti yang seketurunan pada saat upacara
itu, menunjukkan kegotongroyongan yang sangat tinggi pada masyarakat Toraja
yang diikat oleh upacara tersebut.
Dalam upacara itu dilakukan adat
Mantaa, yaitu kurban kerbau atau babi termasuk kerbau yang dibawa oleh pihak
keluarga sebagai sumbangan. Pihak keluarga yang membawa sumbangan mendapat
bahagian daging sebagai tanda telah menyumbang bagi keluarga yang berduka.
Sumbangan itulah yang kemudian nantinya menjadi tanggung jawab moral keluarga
yang berduka, karena kemudian ketika keluarga yang menyumbang berduka, maka
secara adat dan kebiasaan juga berupaya menyumbang dengan nilai yang kurang
lebih sama dengan sumbangan yang diterimanya. Walaupun secara adat
pemberian itu bukan merupakan utang seperti layaknya utang piutang
dimasyarakat.
Sama halnya dengan malam pertama,
pada hari kedua ini upacara juga biasanya dilakukan semalam suntuk yang
diselingi oleh nyanyi-nyanyian duka dan hiburan Ma’badong. Ma’badong itu
sendiri dipahami sebagai sanjungan kepada arwah dan sekaligus bernilai doa bagi
orang yang meninggal. Pemberian sumbangan oleh pihak keluarga dalam upacara itu
juga berfungsi sebagai sarana pengikat persaudaraan atau tanda adanya hubungan
kekerabatan yang dekat.[9]
Hari Ketiga
Upacara pada hari ketiga ini ada dua
aktivitas yaitu acara Ma’bolong dan Ma’batang. Cara Ma’bolong adalah mengadakan
kurban sajian babi pada pagi hari di suatu tempat/rante oleh To Mebalun dengan
menghitamkan pakaian secara simbolis. Makna simbolisnya adalah bahwa seluruh
kerabat keluarga bahkan masyarakat disekitarnya pada hari itu dalam
keadaan berkabung. Pada saat itu seluruh keluarga dinyatakan Maro’ yaitu simbol
berkabung dengan tidak memakan nasi beras padi dan memakai pakaian hitam. Acara
Ma’batang yaitu mengadakan kurban dilapangan upacara/rante diikuti oleh
pembacaan mantra dari atas menara daging yang disebut upacara Bala’kayan yang
berfungsi sebagai mimbar atau panggung upacara aluk rambu solok yang dilakukan
oleh penghulu aluk todolo. Isi mantrayang dibacakan adalah sebagai pengagungan
terhadap leluhur yang menciptakan aluk todolo dan ungkapan rasa syukur kepada
dewata.[10]
Hari Keempat
Acara yang menonjol pada hari itu
adalah jenazah yang telah dibungkus (ma’balun) diatas rumah dimasukkan dalam
suatu peti kayu yang namanya Rapasan. Peti kayu itu terbuat dari kayu yang
sudah mati kemudian ditebang, karena itu biasa juga disebut kayu mate. [11]
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil pemaparan makalah diatas maka dapat
disimpulkan bahwa;
Jauh sebelum masyarakat menganut
Kristen dan Islam, di Toraja telah dikenal suatu kepercayaan yang bersifat
animisme yang bersumber dari leluhur mereka yang disebut Aluk Todolo.
Pada masa sekarang mayoritas masyarakat Toraja menganut Kristen, hanya sebagian
kecil yang menganut agama Islam.
Jenis-jenis upacara ritual dimasyarakat
Toraja dikelompokkan atas dua, yaitu kelompok upacara rambu tukak (upacara yang
berkitan dengan kehidupan) dan upacara rambu solok (upacara yang berkaitan
dengan kematian). Pelaksanaan jenis-jenis upacara yang terdapat dalam kedua
kelompok tersebut tidak boleh dicampur adukkan, satu kelompok harus
diselesaikan terlebih dahulu sebelum memulai upacara pada kelompok yang lain.
Untuk menghadapi dan mempersiapkan
upacara adat Rambu Solo’, didahului oleh beberapa aktivitas yang berkaitan
dengan persiapan pelaksanaan upacara adat tersebut. Kegiatan-kegiatan
pendahuluansebelum upacara itu dilaksanakan, yakni acara pertemuan keluarga,
pembuatan pondok-pondok upacar, menyediakan peralatan upacara, dan persediaan
kurban-kurban dalam upacara. Setelah rangkaian awal itu, baru dilaksanakan
upacara yang sebenarnya sesuai tahapan-tahapan berdasarkan keyakinan aluk
todolo.
B. Saran
Sebaiknya agar segenap masyarakat
dan pemerintah mau memperhatikan berbagai kebudayaan yang melekat
ditengah-tengah masyarakat terutama budaya-budaya yang berkenaan hasil warisan
leluhur. Karena dapat menjadi penopang bagi perkembangan kebudayaan lokal dan
nasional untuk dikenal keseluruh dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Duli, Akin dan Hasanuddin. Toraja dulu dan kini.
Cet.1;Makassar: Pustaka Refleksi, 2003.
Lullulangi, Mithen dan Onesimus
Sampebua. Arsitektur Tradisional Toraja. Makassar: Badan Penerbit UNM,
2007.
Marampa, A.T. Mengenal Toraja.
Toraja: Balai Penelitian Sejarah dan Budaya, 2003.
Sitonda, Mohammad Nasir. Toraja
Warisan Dunia. Cet.2; Makassar: Pustaka Refleksi, 2007.
Tangdilintin, L.T. Upacara Pemakaman Adat Toraja.
Toraja, 1980.
- See more
at:
http://irwan-adab.blogspot.com/2013/12/agama-dan-kepercayaan-suku-toraja.html#sthash.bCa8DSL0.dpuf
No comments:
Post a Comment