Friday, August 28, 2015

KELOMPOK MASYARAKAT SUKU MANDAR




KELOMPOK MASYARAKAT SUKU MANDAR
Pendahuluan
Manusia mandar adalah salah satu suku yang menetap di Pulau Sulawesi bagian barat.  Suku ini menetap meliputi lima kabupaten yaitu Kab.Polewali Mandar, Kab. Majene, Kab. Mamuju, Kab. Mamasa dan Kab. Mamuju Utara.  Luasnya sekitar 1.105.761 km2.  Beberapa pendapat tentang asal mula munculnya istilah Mandar sebagai berikut.  Asal usul kesatuan Lita atau tanah Mandar dijelaskan bahwa Pitu Ulunna Salu (Tuju Hulu sungai) dan Pitu ba’bana Binanga (tuju muara sungai), adalah negara wilayah kesatuan Mandar. [1]  Orang-orang dari pemukiman wilaya itu merasa bahwa mereka semua adalah bersaudara.  Mereka semua percaya bahwa mereka berasal dari satu nenek moyang, yaitu Ulu Sa’dan[2] yang bernama Tokombong di Wura (laki-laki), dan Towisse di Tallang (perempuan).  Mereka juga disebut To-Manurung di Langi.[3]
Dari Kata mandar yang berarti sungai. Penduduk di KecamatanTinambung, Kecamatan Limboro, dan Kecamatan Allu sepanjang Sungai Mandar (sekarang) apabila mau “turun” mandi di sungai mengatakan Na naungaq mandoeq di uai (Saya akan “turun”/pergi mandi di sungai).  Dari kata maqdara.  Pendapat ini, didasarkan pada sifat orang Mandar yang salah sedikit saja mereka tidak segan-segan bertikam yang akibatnya bermandi darah.  Orang yang memberi nama ini ialah orang yang berasal dari luar daerah Mandar.  Dari kata mandaraq yang berarti bersinar, bercahaya.  Dari kata mandaq yang artinya kuat.  Dari kata maqandar atau meander ‘mengantar’, boleh juga berarti ‘mengiring’.  Pendapat ini berdasarkan cerita rakyat tentang suatu kejadian di suatu daerah Mandar (yang sebelum bernama Mandar) di zaman lampau.  Dikisahkan, sebuah rakit yang berisi persumbahan kepada Dewata dari hulu sungai (yang sekarang bernama Sungai Mandar) menuju muara.  Seluruh rakyat berbaris dipinggir sebelah menyebelah sungai untuk maqandar (mengantar) rakit itu sampai ke muara. Setiba di muara, manusia pengantar itu mettambung (bertumpuk) di sebelah menyebelah sungai menyebabkan tempat di muara sungai itu bernama Tambung yang kemudian menjadi sebuah kampung.  Kira-kira berjarak setengah kilometer dari Tambung arah kehulu, ujung barisan pengantar berbalik berputar untuk kembali ke hulu sungai.  Tempat berbalik/berputar kembali, itu pun bernama Paqgiling (dari kata giling atau putar) yang kemudian menjadi sebuah kampung.  Dari kata Dharaman (bahasa Hindu/Sansekerta).  Terdiri dari dua akar kata, yaitu man+dhar berasal dari bentuk kata dharaman yang berarti “mempunyai penduduk.”  Akhirnya terjadi pertukaran dan perubahan pengucapan menjadi Mandar.
Kondisi Masyarakat dan Kepercayaan
Masyarakat Mandar mengenal pelapisan sosial.  Sebagai masyarakat yang pernah berbentuk kerajaan, mereka mengenal tiga lapisan sosial, yakni lapisan atas yang terdiri atas golongan bangsawan (Todiang Laiyana), golongan orang kebanyakan (Tau Maradika), dan lapisan budak (Batua).  Golongan bangsawan memiliki gelar kebangsawanan yaitu Daeng bagi "bangsawan raja" dan Puang bagi "bangsawan adat".[4]
Sistem kekerabatan orang Mandar ditandai oleh beberapa periode, antara lain: periode Tomakala, ketika pemerintahan belum teratur dan hukum belum ada,  periode transisi (Pappuangang), ketika hubungan sosial dalam masyrakat mulai menampakkan polanya: periode penuh tata cara, aturan, nilai yaitu periode Arajang.[5]
Pada jaman ini raja tidak lagi berkuasa secara turun temurun akan tetapi dipilih oleh lembaga adat (hadat).  Dalam tradisi Mandar, destar yang miring ke kiri bermakna isyrat bahwa raja harus mengoreksi diri dan kebijaksanaannya.  Menurut pandangan orang Mandar, raja dianggap buruk (sikap/perilaku maupun kepemimpinannya) bila raja ditinggalkan rakyat.[6]
Suku Mandar, pada umumnya mengikuti kedua garis keturunan ayah dan ibu yaitu sistem bilateral.
Keluarga Inti Dan Keluarga Luas
Suku Mandar biasanya ayah, ibu dan anak mereka yang sekolah di tempat lain.  Adapun keluarga luas di Mandar terkenal istilah mesangana, di Bugi asseajing, keluarga luas yaitu famili-famili yang dekat dan sudah jauh tetapi ada hubungan keluarga.  Mereka tidak mendiami hanya satu daerah, tetapi tersebar di beberapa tempat (daerah).[7]
Status Dalam Rumah Tangga
Suku Mandar, wanita tidak hanya mengurus rumah tangga, tetapi mereka aktif dalam pengurusan pencaharian nafkah, mereka mempunyai prinsip hidup, yaitu Sibaliparri, yang artinya sama-sama menderita (sependeritaan) seperti: Kalau laki-lakinya (sang suami) menangkap ikan, setelah sampai di darat tugas suami dianggap selesai, maka untuk penyelesaian selanjutnya adalah tugas istri terserah apakah ikan itu akan dijual atau akan dimakan, dikeringkan, semua itu adalah tugas si istri.
Di daerah Mandar terkenaldengan istilah hidup, sirondo-rondoi, siamasei, dan sianauang pa’mai. Sirondo-rondoi dimaksudkan bekerjasama bantu membantu dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan baik yang ringan maupun yang berat. Jadi dalam rumah tangga kedua suami istri bergotong royong dalam membina keluarga. Siamamasei, sianuang pa’mai, (sayang menyayangi, kasih mengasihi, gembira sama gembira dan susah sama susah.
Sopan Santun
Pada umumnya suku Mandar ramah-tamah yang muda menghormati yang tua. Kalau orang tua berbicara dengan tamu, anak-anak tidak boleh ikut campur (ikut bersuara).[8]
a. Mengalah yaitu kalau menghadap raja, kaki tangan dilipat.
b. Meminta permisi kalau lewat didepan orang dengan menyebut Tawe.
c. Kalau bertamu sudah lama, mereka minta permisi yang disebut massimang.
Stratifikasi Sosial:
Struktur masyarakat di daerah Mandar pada dasarnya sama dengan susunan masyarakat di seluruh daerah di Sulawesi Selatan, dimana susunan ini berdasarkan penilaian daerah menurut ukuran makro yaitu : 1. Golongan bangsawan raja, 2. Golongan bangsawan hadat atau tau pia, 3. Golongan tau maradeka yakni orang biasa, 4. Golongan budak atau batua.
Golongan bangsawan hadat ini merupakan golongan yang paling banyak jumlahnya. Mereka tidak boleh kawin dengan turunan bangsawan raja supaya ada pemisahan. Raja hanya sebagai lambang sedangkan hadat memegang kekuasaan. Friedricy[9] (ahli sosiologi) pernah menulis tentang lapisan masyarakat pelapisan masyarakat Mandar :
To diang layana (Zij die vors tenbloed hebben)
1. De Arajang (de regeerende vorstengersladht).
2. De Ana Mattola Payung (de opvolgers van vorige vorsten).
3. De Araddia Tallupparappa (de drie kwart maradia’s).
4. De Puwang Sassigi (de halve heeren).
5. De Puwang Siparapa (de kwart heeven).
Tau Maradeka (Bevrijejen).
1. De Tau Pia (regenten adel).
2. Tau Pia Nae (hoorgere hoofdengeslachten).
3. Tau Pia (lagere hoofdengeslachten).
Batuwa
1. Batua Sassorang (erpslapen) (Budak turun temurun)
2. Batuwa Dialli (nieuwe salavan) (Budak yang dibeli)
Batua Inrangang (menjadi sahaya karena kalah perang atau karena berutang).
Menurut Ahmad Sahur dalam teorinya manifestasi gotong royong dalam masyarakat Mandar, bukan puang sassigi melainkan puang sassigi, bukan tau pia melainkan tau mapia karena tau pia tidak ada artinya dalam bahasa Mandar.
System Kepercayaan
Pada umumnya suku Mandar adalah penganut agama Islam yang setia tetapi dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat melepaskan diri dari kepercayaan-kepercayaan seperti pemali, larangan-larangan dan perbuatan magis seperti pemakaian jimat dan guru-guru yang baik bersifat baik dan buruk (black magic) Daerah Mandar terkenal dengan guna-gunanya.  Di samping itu orang-orang Mandar masih mengadakan upacara-upacara untuk pemujaan arwah nenek moyang.
Nilai-nilai Yang mempersatukan Masyarakat Tersebut
Satunya kata dengan perbuatan adalah nilai utama masyarakat Mandar yang dapat disampaikan dengan “lempu” (makna yang mencakup nilai kelurusan, kejujuran, keadilan, dan keikhlasan).[10] Hanya orang yang jujurlah yang dapat memelihara sifat berani, kesatrian, keteguhan pendirian, dan kekayaan nama baik.  Jika seorang terus-menerus jujur dan adil di dalam mencari nafkah, di dalam berpolitik, di dalam bergaul, di dalam beragama, dan di dalam segala jenis kegiatan, maka orang demikian secara kumulatif akan berhasil membangun citra dirinya sebagai orang yang bermartabat dalam arti punya kemuliaan dan kehormatan sebagai manusia yang diciptakan sesuai dengan “divine image” atau citra Iiahi.  Hanya bermartabatlah benar-benar ”atau” atau manusia yang punya “siri.”  Dengan kata lain, orang yang punya “siri” adalah manusia sejati yang punya kehormatan dan kemuliaan sebagai akibat aktualisasi “lempu” dalam seluruh proses hidupnya.
Tidak cukup atau tidak memadai dan bahkan terancam martabat atau harga diri seseorang sebagai manusia jika siri-nya tak bisa dipertahankan dan dipelihara serta kualitasnya gagal ditingkatkan.”siri”[11] seseorang hanya bisa terjaga dan terangkat kualitasnya, jika keutamaan yang dimilikinya diabdikan juga bagi orang lain berdasarkan “pace.”  Sikap kepedulian tinggi pada nasib orang lain dibuktikan dengan mengabdikan kekayaan, kepandaian, kesalehan, dan kelebihan lain yang dimilikinya untuk memperbaiki nasib orang lain, terutama nasib mereka yang lemah, teraniaya, dan ditinggalkan.  “Sipakatao” dan “Sipakalebbi” adalah contoh sikap dan perbuatan yang dapat menjaga dan bahkan dapat meningkatkan kualitas siri.  Semakin memberi kelebihannya bagi orang lain, semakin tinggilah kehormatan dan kemuliaan (siri) seseorang sebagai manusia dan hamba Allah di bumi.
“Lempu, siri-na-pace” harus ditopang oleh penggeledahan diri secara terus-menerus untuk mendeteksi pelanggaran yang mungkin telah dilakukan terhadap “lempu” dan terhadap “siri-na-pacce.”  Pelanggaran terhadap nilai “lempu” harus disadari sebagai “rasa bersalah” yang menuntut pemulihan terhadap “lempu” melalui penyesalan dan pertobatan.  Pelanggaran inilah yang mengamcam siri seseorang yang akhirnya menyebabkan sesorang itu bukan saja merasa bersalah sehingga ingin bertobat.melain kan juga merasa malu.  Dia merasa malu karena merasa bersalah setelah tidak berlaku jujur dan adil.  Namun, dia juga akan merasa malu karena sudah tidak berbuat kebaikan bagi orang lain yang membutuhkannya.
Seorang yang punya “siri” sebagai akibat dari akumulasi perbuatan baik yang “lempu,” akan merasa malu jika tidak berbuat baik kepada orang lain.  Dia akan merasa malu memamerkan kemewahan di tengah orang miskin. Dia akan merasa malu karena pandai sendiri di tengah masyarakat yang bodoh, juga malu jika salah sendiri di tengah masyarakat yang hidup ternista dan terhina dekadensi moral yang dialaminya.  Perasaan prihatin dan peduli demikian bersendi pada rasa “pacce”.
Pada akhirnya, seorang yang merasa bersalah dan merasa malu akan juga merasa takut jika berbuat salah dan melanggar rasa malu. Rasa takut inilah yang memagari seorang untuk tidak berbuat sesuatu yang melanggar “lempu, siri, dan pacce”.  Nilai budaya “lempu” dan “siri-na-pacce” dapat dinyatakan sebagai inti nilai dengan istilah yang berbeda-beda menurut bahasa komunitas etnis di Sulsel.  Nilai “tiga utama” ini ditopang oleh tiga nilai penopang, yaitu “rasa bersalah, rasa malu, dan rasa takut” yang ditegakkan oleh setiap pelaku budaya Mandar (Sulsel) secara kreatif –dinamis , konsekuan, dan konsisten.  Ketiga nilai “Lempu, siri-na-pacce” sebagai satu unit sistem nilai kultur sangat nyekrup dengan nilai-nilai ajaran agama Langit (Yahudi, Nasrani, Islam).  Seorang pelaku budaya Mandar dapat terus-menerus mengaktualisasi ajaran agama dan budaya secara saling menunjang.  Lambat laun, nilai-nilai budaya akan larut di dalam nilai ajaran agama (Islam) sehingga nilai budaya dan islam tidak bagaikan minyak dan air, melainkan bagaikan gula dan yang menyatu.[12]
Sifat yang tercermin di dalam ajaran luhur orang Mandar yang disebut Limai gau diajappui na disanga paramata matappak (lima perbuatan sebagai permata yang bercahaya) yaitu: [13]
1.               Lappu ‘ sola rakee (jujur bersama takut kepada sang pencipta)
2.               Loa tongan sola matikka (perkataan benar bersama waspada)
3.               Akkalang sola nia ‘mappaccing (akal bersama niat yang suci).
4.               Siri ‘ sola pannassa (siri’‘ bersama keyakinan)
5.               Barani sola pappejappu (berani bersama ketetapan hati).
Perlu ditambahkan berbagai konsep-konsep kebijakan dari nilai-nilai luhur kemandaran yang berkaitan dengan kemasyarakatan dibawah ini:
Kesepakatan.[14]Mua ‘purami dipallandang bassi’ pemali diliai,mua’ pura, di pobamba pemali di pepondo’I di sesena atonanganan.Bassi tambbottu petabung tarrabba (Apabila sudah ditentukan sesuatu haram untuk dilangkahi, kalau sudah diucapkan/disepakati pantang diingkari, aturan harus tetap berjalan sesuai dengan asasnya).
Penegakan Hukum.[15] Naiyya ada’ tammaelo pai dipasoso ‘tatti tonggang pai lembarna , ta ‘ keindopai, ta’ keamma ‘ pai, ta ‘kelelluluare ‘ pai, ta’ ke sola pai, ta’ ke wali pai andiappa to dikalepa’na andiang to disaliwanna, andiang to na poriana, andiang to nabire’na Tammappucung tandoppas toi (yang disebut badan penegak hukum adalah tegas dalam mengambil keputusan, tidak berat sebelah, tidak beribu, tidak berbapak, tidak punya saudara, tidak punya teman, tidak punya musuh, tidak diiming-iming kesenangan, tidak punya anak buah dan tidak pernah serakah).
Mencari Kebenaran[16] (Puang Sodo) Appei ruppanna uru bicara tutumasagala balibali palalo balibali. Sa’be balibali (ada 4 pokok untuk memutuskan suatu masalah yaitu meneliti dan menganalisis perkataan kedua belah pihak, kata benar dari keluarga kedua belah pihak, saksi yang terpercaya dari kedua belah pihak)
Demokrasi.[17] Mua’ mendi-mendi oloi elo’na toarajang disesena odiada‘ odibiasa,turu ‘I ada ‘mua’ mendi-mendi oloi elona ada’ disesena odi ada’ odibiasa, turu’I Toarajang (Apbila keinginan bangsawan raja agak kedepan sesuai dengan adat dan kebiasaan adat maka bangsawan adat hendaknya ikut dan demikian juga sebaliknya).
Iyyakodhi rappanna anna mara’dia anna to kaiyyang.[18] Mua sisalai rappanna, ditokaiyyang diule.Apa nauwang todiolo, iddai naule. Diule dai, diule’naung. Mua sisalai tokaiyyang, tau tappa diule ( Inilah suatu ibarat apabila raja berhadapan dengan kaum adat, apabila mereka bersebrangan maka kaum adat harus diikuti dan apabila kaum adat bersebrangan dengan kaum adat maka rakyat harus dikuti ).
Otonomi (Daetta Kakanna I Pattan)[19] Madondong duambongi anna diang api naung bakarna napideitoi tia alabena, mu’andiani mala napideitoi pendoama’o lao diindo ada’mu, mua pitumbongi pitungallo andianni mala mupiddei siola indo ada’mu, pendoa mo’o diama ada’mu apa nasiolamo’o mappiddei (besok lusa apabila ada api menyala disuatu wilayah maka sebaiknya api itu dapat diredam sendiri dan jika tidak dapat diredam hendaknya engkau meminta pertolongan kepada ibu adatmu.  Jika tujuh hari tujuh malam belum dapat diredam hendaknya engkau dating ke bapak adatmu untuk datang bersama-sama meredam api itu ).
Kaiyyang tammaccina dikende ‘kende’na tammaccinna dikaiyanganna[20] (yang merintah seharusnya tidak memaksakan kemauan kepada rakyat dan rakyat tidak seharusnya memaksakan kehendak kepada yang memerintah).
Konsep Kepemimpinan[21] (tammatindo dilangganna).Pallaku lakuanni mie lita’mu, apa’ medondong duambongi inai-inai mala mappatumbalie lita’ di balanipa, ia tomo tia nadianna dai dipeuluang, na dipesokkoi anna malai toma’tia naung ditambing mengngada’dai (pertahankanlah tanah air anda bila besok lusa siapapun yang dapat menyelamatkan negeri Balanipa ia berhak diangkat sebagai pemimpin dan saya akan turun tahta dan mendukung dengan sepenuh hati).
Persatuan[22] (Ammana Wewang/Ammana Pattolawali) Dotai tau siamateang mie namembere diolona lita’ dadi nanaparentah tedong pute to kaper (lebih baik mati berkalan tanah dari pada diperintah oleh Belanda si Kafir laknat).

Hal-Hal yang Dapat Menjadi Sumber Sengketa
            Agama suku Mandar adalah agama Islam. Tak seorang pun boleh mengajak orang lain berpindah agama.[23]  Sejak dahulu telah terjadi pemurnian ajaran agama Islam sehingga tempat ini menjadi mayoritas Islam.  Selain itu, kehidupan masyarakat yang sangat memegan teguh nilai-nilai budaya, sehingga sangat memungkinkan terjadi Konflik jika adanya pengganggu dari luar terhadap budaya dan kebiasaa dari luar yang mengganggu kestabilan budaya masyarakat.  Terutama bila ada penyebaran agama lain bagi mereka seperti agama Kristen.  Hal ini akan disebut kristenisasi yang akan mengancam agama muslim dan dapat mengekibatkan konflik.
Prediksi Sepuluh Tahun Kedepan
            Sulawesi Barat sebagai tempat tinggal daerah suku mandar, merupakan tempat yang menghadap langsung ke laut Flores dan laut Sulawesi.  Suku ini juga terkenal dengan julukan nelayang yang handal.  Hal inlah yang menjadikan tempat ini memiliki potensi dibidang perikanan yang sedang dikembangkan.  Selain itu, sektor pertanian dan peternakan juga cukup berpotensi.  Namun daerah ini masih kurang dalam bidang pendidikan, dan sementara dalam proses perbaikan.  Selain sektor perikanan dan pertanian, sektor tambang dan pariwisata tempat ini juga sedang dikembangkan, sehingga tidak menutup kemungkinan akan adanya orang luar yang akan datang ke tempat ini, sehingga sikap masyarakat yang tertutup dengan budaya luar bias semakin terbuka.  Oleh seab itu, dalam perkiraan sepulu tahun kedepan, tempat ini akan menjadi maju baik dalam segi SDM, pertanian perkebunan, nelayan dan lain-lainnya.  Begitu juga dengan sektor pariwisata yang akan menarik orang asing, yang tidak menutup kemungkinan akan mempengaruhi kebudayaan juga.


[1]  -, “Asal Usul Suku Mandar Di Sulawesi” [artikel online], diambil dari http://www.arytasman.com/kekayaan-budaya/filosopi-hidup/asal-usul-suku-mandar-di-sulawesi.html; internet; diakses 7 Oktober 2014.
[2] Tempat ini merupakan salahsatu hulu sungai sa’dan, dan melalui sungai masuppu’ “To Kombong Dibura (Datu Mangira) di kawini To Buttu Dilangi (tandayan Langi’) dan melahirkan sejumlah anak dan cucu.  Cerita ini tercantum dalam Lontar Mandar bahwa, “pertama kali ada Puang (bangsawan) di Mandar adalah turunan dari To’ Kombong Dibura di kawini To Bisse Ditallang mendiami tempat bernama Ulu Sa’dan Mopotta’na artinya ulu sa’dan dan menjadi pinggiran daratan.”  (Lontar Mandar Transliterasi: Abd. Mutalib,Makassar, 1985:34).
[3]  Ibid.
[4] Siti Nurhasanah, “ Tujuh Sistem Kebudayaan Suku Mandar” [artikel online], diambil dari http://anahbembem.blogspot.com/2012/03/7-sistem-kebudayaan-suku-mandar.html; internet, diakses 7 Oktober 2014.
[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Anwar Sewang, “Eotografi Budaya Masyarakat Mandar” [artikel online], diambil dari http://mustarimula.blogspot.com/2010/10/entografi-budaya -masyarakat-mandar.html; internet, diakses 7 Oktober 2014.
[8] Ibid.
[9]  Ibid.
[10] Andhika, “Belajar Adalah Sebuah Sensasi” [artikel online], diambil dari http://one1andhika.blogspot.com; internet, diakses 7 Oktober 2014.
[11] “siri” dalam bahasa indonesia dapat diartikan “rasa malu.”  Secara harfiah kata siri’ sistem adat di Sulawesi Selatan sepanjang pembacaan kita pada naskah-naskah lontara, sedikitnya memiliki dua makna fundamental yaitu malu dan harga diri.  Seorang pemalu dinamakan tau pasiri’-siri’seng (bahasa Bugis) atau tau passiriang (bahasa Makassar) atau tau passiriang (bahasa Mandar).
Istilah siri’-siri’ bungkeng yang sangat dikenal dalam suku tertentu di Sulawesi Selatan merupakan penamaan bagi seseorang yang berada dalam keadaan sangat malu, sehingga digambarkan ibarat helai daun pinang yang berkerut karena dijemur dibawah terik sinar matahari.  Hal ini juga sering digambarkan dengan sebuah keadaan dimana seseorang yang sangat ingin menikmati hidangan yang tersaji di perjamuan namun tertekan rasa malu karena merasa diperhatikan oleh tetamu yang lain.

[12] Andhika.
[13]. Ahmad Rizandy R, Stereotip Suku Mandar Di Kota Makassar, Studi Komunikasi Antar Budaya Suku Bugis dan Suku Mandar, ( Skripsi, Universitas Hasanuddin Makassar, 2012), 57.
[14] Ibid. 59
[15] Ibid.
[16] Ibid, 60.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Ibid, 61.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Ezra Tari, “Suku Mandar” [Artikel Online], diambil dari http://tariezra.blogspot.com/2012/02/suku-mandar.html; internet; diakses 7 Oktober 2014.

1 comment:

Ketika Firman kita ucapkan pada setiap keadaan itu, kita menghadirkan Allah kedalamnya

  Yohanes 1:1-5 "Pada mulanya adalah Firman, Firman itu bersama-sama dengan Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segalah s...

Popular Posts