KELOMPOK MASYARAKAT SUKU MANDAR
Pendahuluan
Manusia mandar adalah salah satu
suku yang menetap di Pulau Sulawesi bagian barat. Suku ini menetap meliputi lima kabupaten yaitu
Kab.Polewali Mandar, Kab. Majene, Kab. Mamuju, Kab. Mamasa dan
Kab. Mamuju Utara. Luasnya sekitar
1.105.761 km2. Beberapa
pendapat tentang asal mula munculnya istilah Mandar sebagai berikut. Asal
usul kesatuan Lita atau tanah Mandar dijelaskan bahwa Pitu Ulunna Salu (Tuju
Hulu sungai) dan Pitu ba’bana Binanga (tuju muara sungai), adalah negara
wilayah kesatuan Mandar. [1] Orang-orang dari pemukiman wilaya itu merasa
bahwa mereka semua adalah bersaudara.
Mereka semua percaya bahwa mereka berasal dari satu nenek moyang, yaitu
Ulu Sa’dan[2] yang
bernama Tokombong di Wura (laki-laki), dan Towisse di Tallang (perempuan). Mereka juga disebut To-Manurung di Langi.[3]
Dari Kata mandar yang berarti sungai. Penduduk di KecamatanTinambung,
Kecamatan Limboro, dan Kecamatan Allu sepanjang Sungai Mandar (sekarang)
apabila mau “turun” mandi di sungai mengatakan Na naungaq mandoeq di uai
(Saya akan “turun”/pergi mandi di sungai).
Dari kata maqdara. Pendapat ini, didasarkan pada sifat
orang Mandar yang salah sedikit saja mereka tidak segan-segan bertikam yang
akibatnya bermandi darah. Orang yang
memberi nama ini ialah orang yang berasal
dari luar daerah Mandar. Dari kata mandaraq
yang berarti bersinar, bercahaya. Dari
kata mandaq yang artinya kuat. Dari
kata maqandar atau meander ‘mengantar’, boleh juga berarti
‘mengiring’. Pendapat ini berdasarkan cerita
rakyat tentang suatu kejadian di suatu daerah Mandar (yang sebelum bernama
Mandar) di zaman lampau. Dikisahkan,
sebuah rakit yang berisi persumbahan kepada Dewata dari hulu sungai (yang
sekarang bernama Sungai Mandar) menuju muara. Seluruh rakyat berbaris dipinggir sebelah
menyebelah sungai untuk maqandar (mengantar) rakit itu sampai ke muara.
Setiba di muara, manusia pengantar itu mettambung (bertumpuk) di sebelah
menyebelah sungai menyebabkan tempat di muara sungai itu bernama Tambung
yang kemudian menjadi sebuah kampung. Kira-kira berjarak setengah
kilometer dari Tambung arah kehulu, ujung barisan pengantar berbalik
berputar untuk kembali ke hulu sungai. Tempat berbalik/berputar kembali, itu pun
bernama Paqgiling (dari kata giling atau putar) yang kemudian menjadi
sebuah kampung. Dari kata Dharaman (bahasa
Hindu/Sansekerta). Terdiri dari dua akar
kata, yaitu man+dhar berasal dari bentuk kata dharaman yang
berarti “mempunyai penduduk.” Akhirnya terjadi pertukaran dan perubahan
pengucapan menjadi Mandar.
Kondisi
Masyarakat dan Kepercayaan
Masyarakat Mandar mengenal pelapisan
sosial. Sebagai masyarakat yang pernah berbentuk
kerajaan, mereka mengenal tiga lapisan sosial, yakni lapisan atas yang terdiri
atas golongan bangsawan (Todiang Laiyana), golongan orang kebanyakan (Tau
Maradika), dan lapisan budak (Batua). Golongan
bangsawan memiliki gelar kebangsawanan yaitu Daeng bagi "bangsawan
raja" dan Puang bagi "bangsawan adat".[4]
Sistem kekerabatan orang Mandar ditandai oleh beberapa
periode, antara lain: periode Tomakala, ketika pemerintahan belum teratur dan
hukum belum ada, periode transisi
(Pappuangang), ketika hubungan sosial dalam masyrakat mulai menampakkan
polanya: periode penuh tata cara, aturan, nilai yaitu periode Arajang.[5]
Pada jaman ini raja tidak lagi berkuasa secara turun
temurun akan tetapi dipilih oleh lembaga adat (hadat). Dalam tradisi Mandar, destar yang
miring ke kiri bermakna isyrat bahwa raja harus mengoreksi diri dan
kebijaksanaannya. Menurut pandangan
orang Mandar, raja dianggap buruk (sikap/perilaku maupun kepemimpinannya) bila
raja ditinggalkan rakyat.[6]
Suku
Mandar, pada umumnya mengikuti kedua garis keturunan ayah dan ibu yaitu sistem
bilateral.
Keluarga Inti Dan Keluarga Luas
Suku
Mandar biasanya ayah, ibu dan anak mereka yang sekolah di tempat lain. Adapun keluarga luas di Mandar terkenal
istilah mesangana, di Bugi asseajing, keluarga luas yaitu
famili-famili yang dekat dan sudah jauh tetapi ada hubungan keluarga. Mereka tidak mendiami hanya satu daerah,
tetapi tersebar di beberapa tempat (daerah).[7]
Status Dalam Rumah Tangga
Suku
Mandar, wanita tidak hanya mengurus rumah tangga, tetapi mereka aktif dalam
pengurusan pencaharian nafkah, mereka mempunyai prinsip hidup, yaitu Sibaliparri,
yang artinya sama-sama menderita (sependeritaan) seperti: Kalau laki-lakinya
(sang suami) menangkap ikan, setelah sampai di darat tugas suami dianggap
selesai, maka untuk penyelesaian selanjutnya adalah tugas istri terserah apakah
ikan itu akan dijual atau akan dimakan, dikeringkan, semua itu adalah tugas si
istri.
Di daerah Mandar terkenaldengan
istilah hidup, sirondo-rondoi, siamasei, dan sianauang pa’mai. Sirondo-rondoi
dimaksudkan bekerjasama bantu membantu dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan
baik yang ringan maupun yang berat. Jadi dalam rumah tangga kedua suami istri
bergotong royong dalam membina keluarga. Siamamasei, sianuang pa’mai,
(sayang menyayangi, kasih mengasihi, gembira sama gembira dan susah sama susah.
Sopan Santun
Pada umumnya suku Mandar ramah-tamah yang muda menghormati
yang tua. Kalau orang tua berbicara dengan tamu, anak-anak tidak boleh ikut
campur (ikut bersuara).[8]
a. Mengalah yaitu kalau menghadap
raja, kaki tangan dilipat.
b. Meminta permisi kalau lewat
didepan orang dengan menyebut Tawe.
c. Kalau bertamu sudah lama, mereka
minta permisi yang disebut massimang.
Stratifikasi Sosial:
Struktur masyarakat di daerah Mandar pada dasarnya sama
dengan susunan masyarakat di seluruh daerah di Sulawesi Selatan, dimana susunan
ini berdasarkan penilaian daerah menurut ukuran makro yaitu : 1. Golongan
bangsawan raja, 2. Golongan bangsawan hadat atau tau pia, 3. Golongan tau
maradeka yakni orang biasa, 4. Golongan budak atau batua.
Golongan bangsawan hadat ini merupakan golongan yang paling
banyak jumlahnya. Mereka tidak boleh kawin dengan turunan bangsawan raja supaya
ada pemisahan. Raja hanya sebagai lambang sedangkan hadat memegang kekuasaan.
Friedricy[9]
(ahli sosiologi) pernah menulis tentang lapisan masyarakat pelapisan masyarakat
Mandar :
To diang layana (Zij die vors tenbloed hebben)
1. De Arajang (de regeerende vorstengersladht).
2. De Ana Mattola Payung (de opvolgers van vorige
vorsten).
3. De Araddia Tallupparappa (de drie kwart
maradia’s).
4. De Puwang Sassigi (de halve heeren).
5. De Puwang Siparapa (de kwart heeven).
Tau Maradeka (Bevrijejen).
1. De Tau Pia (regenten adel).
2. Tau Pia Nae (hoorgere hoofdengeslachten).
3. Tau Pia (lagere hoofdengeslachten).
Batuwa
1. Batua Sassorang (erpslapen) (Budak turun
temurun)
2. Batuwa Dialli (nieuwe salavan) (Budak yang
dibeli)
Batua Inrangang (menjadi sahaya karena kalah perang
atau karena berutang).
Menurut Ahmad Sahur dalam teorinya
manifestasi gotong royong dalam masyarakat Mandar, bukan puang sassigi
melainkan puang sassigi, bukan tau pia melainkan tau mapia
karena tau pia tidak ada artinya dalam bahasa Mandar.
System
Kepercayaan
Pada umumnya suku Mandar adalah
penganut agama Islam yang setia tetapi dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat
melepaskan diri dari kepercayaan-kepercayaan seperti pemali, larangan-larangan
dan perbuatan magis seperti pemakaian jimat dan guru-guru yang baik bersifat
baik dan buruk (black magic) Daerah Mandar terkenal dengan guna-gunanya. Di samping itu orang-orang Mandar masih
mengadakan upacara-upacara untuk pemujaan arwah nenek moyang.
Nilai-nilai Yang mempersatukan Masyarakat Tersebut
Satunya
kata dengan perbuatan adalah nilai utama masyarakat Mandar yang dapat
disampaikan dengan “lempu” (makna yang mencakup nilai kelurusan, kejujuran,
keadilan, dan keikhlasan).[10]
Hanya orang yang jujurlah yang dapat memelihara sifat berani, kesatrian,
keteguhan pendirian, dan kekayaan nama baik. Jika seorang terus-menerus jujur dan adil di
dalam mencari nafkah, di dalam berpolitik, di dalam bergaul, di dalam beragama,
dan di dalam segala jenis kegiatan, maka orang demikian secara kumulatif akan
berhasil membangun citra dirinya sebagai orang yang bermartabat dalam arti
punya kemuliaan dan kehormatan sebagai manusia yang diciptakan sesuai dengan
“divine image” atau citra Iiahi. Hanya
bermartabatlah benar-benar ”atau” atau manusia yang punya “siri.” Dengan kata lain, orang yang punya “siri”
adalah manusia sejati yang punya kehormatan dan kemuliaan sebagai akibat
aktualisasi “lempu” dalam seluruh proses hidupnya.
Tidak cukup atau tidak memadai dan bahkan
terancam martabat atau harga diri seseorang sebagai manusia jika siri-nya tak
bisa dipertahankan dan dipelihara serta kualitasnya gagal ditingkatkan.”siri”[11]
seseorang hanya bisa terjaga dan terangkat kualitasnya, jika keutamaan yang
dimilikinya diabdikan juga bagi orang lain berdasarkan “pace.” Sikap kepedulian tinggi pada nasib orang lain
dibuktikan dengan mengabdikan kekayaan, kepandaian, kesalehan, dan kelebihan
lain yang dimilikinya untuk memperbaiki nasib orang lain, terutama nasib mereka
yang lemah, teraniaya, dan ditinggalkan. “Sipakatao” dan “Sipakalebbi” adalah contoh
sikap dan perbuatan yang dapat menjaga dan bahkan dapat meningkatkan kualitas
siri. Semakin memberi kelebihannya bagi
orang lain, semakin tinggilah kehormatan dan kemuliaan (siri) seseorang sebagai
manusia dan hamba Allah di bumi.
“Lempu, siri-na-pace” harus ditopang
oleh penggeledahan diri secara terus-menerus untuk mendeteksi pelanggaran yang
mungkin telah dilakukan terhadap “lempu” dan terhadap “siri-na-pacce.” Pelanggaran terhadap nilai “lempu” harus
disadari sebagai “rasa bersalah” yang menuntut pemulihan terhadap “lempu”
melalui penyesalan dan pertobatan. Pelanggaran
inilah yang mengamcam siri seseorang yang akhirnya menyebabkan sesorang itu
bukan saja merasa bersalah sehingga ingin bertobat.melain kan juga merasa malu.
Dia merasa malu karena merasa bersalah
setelah tidak berlaku jujur dan adil. Namun, dia juga akan merasa malu karena sudah
tidak berbuat kebaikan bagi orang lain yang membutuhkannya.
Seorang yang punya “siri” sebagai
akibat dari akumulasi perbuatan baik yang “lempu,” akan merasa malu jika tidak
berbuat baik kepada orang lain. Dia akan
merasa malu memamerkan kemewahan di tengah orang miskin. Dia akan merasa malu
karena pandai sendiri di tengah masyarakat yang bodoh, juga malu jika salah
sendiri di tengah masyarakat yang hidup ternista dan terhina dekadensi moral
yang dialaminya. Perasaan prihatin dan
peduli demikian bersendi pada rasa “pacce”.
Pada akhirnya, seorang yang merasa
bersalah dan merasa malu akan juga merasa takut jika berbuat salah dan
melanggar rasa malu. Rasa takut inilah yang memagari seorang untuk tidak
berbuat sesuatu yang melanggar “lempu, siri, dan pacce”. Nilai budaya “lempu” dan “siri-na-pacce” dapat
dinyatakan sebagai inti nilai dengan istilah yang berbeda-beda menurut bahasa
komunitas etnis di Sulsel. Nilai “tiga
utama” ini ditopang oleh tiga nilai penopang, yaitu “rasa bersalah, rasa malu,
dan rasa takut” yang ditegakkan oleh setiap pelaku budaya Mandar (Sulsel)
secara kreatif –dinamis , konsekuan, dan konsisten. Ketiga nilai “Lempu, siri-na-pacce” sebagai
satu unit sistem nilai kultur sangat nyekrup dengan nilai-nilai ajaran agama
Langit (Yahudi, Nasrani, Islam). Seorang
pelaku budaya Mandar dapat terus-menerus mengaktualisasi ajaran agama dan
budaya secara saling menunjang. Lambat
laun, nilai-nilai budaya akan larut di dalam nilai ajaran agama (Islam)
sehingga nilai budaya dan islam tidak bagaikan minyak dan air, melainkan
bagaikan gula dan yang menyatu.[12]
Sifat yang
tercermin di dalam ajaran luhur orang Mandar yang disebut Limai gau diajappui
na disanga paramata matappak (lima perbuatan sebagai permata yang bercahaya)
yaitu: [13]
1.
Lappu ‘ sola rakee
(jujur bersama takut kepada sang pencipta)
2.
Loa tongan sola matikka
(perkataan benar bersama waspada)
3.
Akkalang sola nia
‘mappaccing (akal bersama niat yang suci).
4.
Siri ‘ sola pannassa
(siri’‘ bersama keyakinan)
5.
Barani sola pappejappu
(berani bersama ketetapan hati).
Perlu
ditambahkan berbagai konsep-konsep kebijakan dari nilai-nilai luhur kemandaran
yang berkaitan dengan kemasyarakatan dibawah ini:
Kesepakatan.[14]Mua
‘purami dipallandang bassi’ pemali diliai,mua’ pura, di pobamba pemali di
pepondo’I di sesena atonanganan.Bassi tambbottu petabung tarrabba (Apabila
sudah ditentukan sesuatu haram untuk dilangkahi, kalau sudah
diucapkan/disepakati pantang diingkari, aturan harus tetap berjalan sesuai
dengan asasnya).
Penegakan Hukum.[15]
Naiyya ada’ tammaelo pai dipasoso ‘tatti tonggang pai lembarna , ta ‘
keindopai, ta’ keamma ‘ pai, ta ‘kelelluluare ‘ pai, ta’ ke sola pai, ta’ ke
wali pai andiappa to dikalepa’na andiang to disaliwanna, andiang to na poriana,
andiang to nabire’na Tammappucung tandoppas toi (yang disebut badan penegak
hukum adalah tegas dalam mengambil keputusan, tidak berat sebelah, tidak
beribu, tidak berbapak, tidak punya saudara, tidak punya teman, tidak punya
musuh, tidak diiming-iming kesenangan, tidak punya anak buah dan tidak pernah
serakah).
Mencari
Kebenaran[16]
(Puang Sodo) Appei ruppanna uru bicara tutumasagala balibali palalo balibali.
Sa’be balibali (ada 4 pokok untuk memutuskan suatu masalah yaitu meneliti dan
menganalisis perkataan kedua belah pihak, kata benar dari keluarga kedua belah
pihak, saksi yang terpercaya dari kedua belah pihak)
Demokrasi.[17]
Mua’ mendi-mendi oloi elo’na toarajang
disesena odiada‘ odibiasa,turu ‘I ada ‘mua’ mendi-mendi oloi elona ada’
disesena odi ada’ odibiasa, turu’I Toarajang (Apbila keinginan bangsawan raja
agak kedepan sesuai dengan adat dan kebiasaan adat maka bangsawan adat
hendaknya ikut dan demikian juga sebaliknya).
Iyyakodhi
rappanna anna mara’dia anna to kaiyyang.[18]
Mua sisalai rappanna, ditokaiyyang diule.Apa nauwang todiolo, iddai naule.
Diule dai, diule’naung. Mua sisalai tokaiyyang, tau tappa diule ( Inilah suatu
ibarat apabila raja berhadapan dengan kaum adat, apabila mereka bersebrangan
maka kaum adat harus diikuti dan apabila kaum adat bersebrangan dengan kaum
adat maka rakyat harus dikuti ).
Otonomi (Daetta
Kakanna I Pattan)[19] Madondong
duambongi anna diang api naung bakarna napideitoi tia alabena, mu’andiani mala
napideitoi pendoama’o lao diindo ada’mu, mua pitumbongi pitungallo andianni
mala mupiddei siola indo ada’mu, pendoa mo’o diama ada’mu apa nasiolamo’o
mappiddei (besok lusa apabila ada api menyala disuatu wilayah maka sebaiknya
api itu dapat diredam sendiri dan jika tidak dapat diredam hendaknya engkau
meminta pertolongan kepada ibu adatmu. Jika tujuh hari tujuh malam belum dapat
diredam hendaknya engkau dating ke bapak adatmu untuk datang bersama-sama
meredam api itu ).
Kaiyyang
tammaccina dikende ‘kende’na tammaccinna dikaiyanganna[20]
(yang merintah seharusnya tidak memaksakan kemauan kepada rakyat dan rakyat
tidak seharusnya memaksakan kehendak kepada yang memerintah).
Konsep
Kepemimpinan[21]
(tammatindo dilangganna).Pallaku lakuanni mie lita’mu, apa’ medondong duambongi
inai-inai mala mappatumbalie lita’ di balanipa, ia tomo tia nadianna dai
dipeuluang, na dipesokkoi anna malai toma’tia naung ditambing mengngada’dai
(pertahankanlah tanah air anda bila besok lusa siapapun yang dapat
menyelamatkan negeri Balanipa ia berhak diangkat sebagai pemimpin dan saya akan
turun tahta dan mendukung dengan sepenuh hati).
Persatuan[22]
(Ammana Wewang/Ammana Pattolawali) Dotai tau siamateang mie namembere diolona
lita’ dadi nanaparentah tedong pute to kaper (lebih baik mati berkalan tanah
dari pada diperintah oleh Belanda si Kafir laknat).
Hal-Hal yang Dapat Menjadi Sumber
Sengketa
Agama suku Mandar adalah agama
Islam. Tak seorang pun boleh mengajak orang lain berpindah agama.[23] Sejak dahulu telah terjadi pemurnian ajaran
agama Islam sehingga tempat ini menjadi mayoritas Islam. Selain itu, kehidupan masyarakat yang sangat
memegan teguh nilai-nilai budaya, sehingga sangat memungkinkan terjadi Konflik
jika adanya pengganggu dari luar terhadap budaya dan kebiasaa dari luar yang
mengganggu kestabilan budaya masyarakat.
Terutama bila ada penyebaran agama lain bagi mereka seperti agama
Kristen. Hal ini akan disebut
kristenisasi yang akan mengancam agama muslim dan dapat mengekibatkan konflik.
Prediksi Sepuluh Tahun Kedepan
Sulawesi
Barat sebagai tempat tinggal daerah suku mandar, merupakan tempat yang
menghadap langsung ke laut Flores dan laut Sulawesi. Suku ini juga terkenal dengan julukan
nelayang yang handal. Hal inlah yang
menjadikan tempat ini memiliki potensi dibidang perikanan yang sedang
dikembangkan. Selain itu, sektor
pertanian dan peternakan juga cukup berpotensi.
Namun daerah ini masih kurang dalam bidang pendidikan, dan sementara
dalam proses perbaikan. Selain sektor
perikanan dan pertanian, sektor tambang dan pariwisata tempat ini juga sedang
dikembangkan, sehingga tidak menutup kemungkinan akan adanya orang luar yang
akan datang ke tempat ini, sehingga sikap masyarakat yang tertutup dengan
budaya luar bias semakin terbuka. Oleh
seab itu, dalam perkiraan sepulu tahun kedepan, tempat ini akan menjadi maju
baik dalam segi SDM, pertanian perkebunan, nelayan dan lain-lainnya. Begitu juga dengan sektor pariwisata yang akan
menarik orang asing, yang tidak menutup kemungkinan akan mempengaruhi
kebudayaan juga.
[1]
-, “Asal Usul Suku Mandar Di Sulawesi” [artikel online], diambil dari http://www.arytasman.com/kekayaan-budaya/filosopi-hidup/asal-usul-suku-mandar-di-sulawesi.html; internet; diakses 7 Oktober
2014.
[2] Tempat ini merupakan salahsatu
hulu sungai sa’dan, dan melalui sungai masuppu’ “To Kombong Dibura (Datu
Mangira) di kawini To Buttu Dilangi (tandayan Langi’) dan melahirkan sejumlah
anak dan cucu. Cerita ini tercantum
dalam Lontar Mandar bahwa, “pertama kali ada Puang (bangsawan) di Mandar adalah turunan dari To’
Kombong Dibura di kawini To Bisse Ditallang mendiami tempat bernama Ulu Sa’dan Mopotta’na
artinya ulu sa’dan dan menjadi pinggiran daratan.” (Lontar Mandar Transliterasi: Abd.
Mutalib,Makassar, 1985:34).
[3]
Ibid.
[4] Siti
Nurhasanah, “ Tujuh Sistem Kebudayaan Suku Mandar” [artikel online], diambil
dari http://anahbembem.blogspot.com/2012/03/7-sistem-kebudayaan-suku-mandar.html; internet,
diakses 7 Oktober 2014.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Anwar Sewang, “Eotografi Budaya Masyarakat
Mandar” [artikel online], diambil dari http://mustarimula.blogspot.com/2010/10/entografi-budaya -masyarakat-mandar.html;
internet, diakses 7 Oktober 2014.
[8]
Ibid.
[10] Andhika, “Belajar Adalah Sebuah
Sensasi” [artikel online], diambil dari http://one1andhika.blogspot.com; internet, diakses 7 Oktober 2014.
[11]
“siri” dalam bahasa indonesia dapat diartikan “rasa malu.” Secara
harfiah kata siri’ sistem adat di Sulawesi Selatan sepanjang pembacaan kita
pada naskah-naskah lontara, sedikitnya memiliki dua makna fundamental yaitu
malu dan harga diri. Seorang pemalu
dinamakan tau pasiri’-siri’seng (bahasa Bugis) atau tau passiriang (bahasa
Makassar) atau tau passiriang (bahasa Mandar).
Istilah
siri’-siri’ bungkeng yang sangat dikenal dalam suku tertentu di Sulawesi
Selatan merupakan penamaan bagi seseorang yang berada dalam keadaan sangat
malu, sehingga digambarkan ibarat helai daun pinang yang berkerut karena
dijemur dibawah terik sinar matahari.
Hal ini juga sering digambarkan dengan sebuah keadaan dimana seseorang
yang sangat ingin menikmati hidangan yang tersaji di perjamuan namun tertekan
rasa malu karena merasa diperhatikan oleh tetamu yang lain.
[13]. Ahmad Rizandy R, Stereotip Suku Mandar Di Kota Makassar, Studi Komunikasi Antar Budaya
Suku Bugis dan Suku Mandar, ( Skripsi, Universitas Hasanuddin Makassar, 2012), 57.
[14] Ibid. 59
[15] Ibid.
[16] Ibid, 60.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Ibid, 61.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Ezra Tari, “Suku Mandar” [Artikel Online], diambil dari http://tariezra.blogspot.com/2012/02/suku-mandar.html;
internet; diakses 7 Oktober 2014.
Artikelnya keren kak
ReplyDelete