Friday, August 28, 2015

YESUS SEJARAH DAN YESUS IMAN MENURUT PAULUS



Pendahuluan
            Manusia diciptakan untuk mengasihi, melayani, dan bersekutu dengan Allah.  Namun manusia gagal memenuhi maksud ilahi untuk dirinya, karena semua manusia telah berbuat dosa.  Dengan demikian, pengertia kita mengenai pribadi dan karya Kristus terbit langsung dari Doktrin tentang manusia dan dosa. [1]
            Pada saat mempelajari pribadi dan karya Kristus, kita berada pada pusat teologi kristen.  Karena menurut defenisi istila Kristen, itu sendiri berarti orang yang percaya kepada Kristus dan menjadi pengikut Kristus.  Maka pengertian tentang Kristus harus yang utama dan meyakinkan mengenai sifat iman Kristen.  Semua hal lain dengan sendirinya tidaklah sepenting dengan apa yang kita pikirkan takkala menyusun Kristologi kita.[2]
Selama jangka waktu yang cukup lama, para teolog membatasi pembahasan mereka mengenai Kristus pada pandangan yang diungkapkan dalam tradisi denominasi atau kepercayaan mereka masing-masing.  Tradisi-tradisi ini cenderung mengikuti pendapat-pendapat yang dirumuskan dalam konsili-konsili oikumenis pada abad-abad awal gereja.  Ketika itu, persoalan-persoalan Kristologi lebih banyak diungkapkan secara metafisik.  Bagaimana mungkin ke-Allahan Yesus dapat hidup berdampingan dengan kemanusiaannya ?,  Namun dewasa ini fokusnya telah berubah.  Di berbagai kalangan tertentu teologi menentang, atau setidak-tidaknya tidak menggubris masalah-masalah metafisik.  Oleh karena itu, pelajaran mengenai Kristus dewasa ini lebih bertalian dengan sejarah.  Salahsatu persoalannya ialah kecuriagaan bawa Yesus yang dikemukakan tradsi teologi itu berbeda dengan Yesus yang pernah hidup di Palestina, serta mengajar dan bekerja di antara murid-murid-Nya dan orang banyak.[3]
Dengan adanya aliran Modernisme dan Liberalisme, ada banyak orang yang mempertanyakan ke-Tuhanan Yesus.  Mereka berpendapat, jika Kitab Suci tidak dapat dibuktikan secara historis, maka berarti isinya belum tentu benar.  Akibatnya, mereka memisahkan Yesus sebagai Yesus yang sesungguhnya menurut sejarah (the Jesus of History), dan Yesus yang diimani oleh orang Kristen (the Christ of Faith), dan mengatakan bahwa Yesus yang diimani orang Kristen itu tidak sama dengan Yesus yang sesungguhnya ada dalam sejarah. Contohnya adalah the Five Gospels of the Jesus’ Seminar dan buku karangan Dan Brown, Da Vinci Code, yang intinya menyatakan bahwa seolah Yesus ‘dijadikan’ Tuhan oleh para pengikutNya, dan ke-Tuhanan Yesus baru diresmikan oleh Kaisar Konstantin sekitar tahun 325.[4]
Berbagai Pandangan
Dalam satu abad terakhir dunia teknologi sedang menyaksikan suatu perkembangan yang demikian pesat dalam penelitian Yesus Sejarah (Historical Jesus).  Perkembangan ini oleh para ahli bahkan telah mencapai "The Third Quest.  Riset terakhir Yesus Sejarah dalam kesimpulannya mengatakan:

"Jesus may never have said 82 percent of what the gospels attribute to Him. The only verifiably authentic part of The Lord's Prayer is 'our Father'. Jesus never preached a Gospel of Salvation through His death, He never worked any miracles, and He most certainly was not raised from the dead ... According to some of these scholars, The Real Jesus more of a social critic like Socrates than The Messianic Son of God and Agent of The Kingdom of God."[5]

Studi terhadap Yesus Sejarah membuktikan bahwa ia sangat terkait erat dengan berkembangnya pandangan teologis atas Alkitab.
Pada masa Pra-Riset sebelum tahun 1778, ini orang tanpa keraguan menerima bahwa tidak ada perbedaan antara Kristus Iman dan Yesus Sejarah, keduanya identik.  Walaupun dalam studi atas kitab-kitab Injil ditemukan perbedaan namun itu tidak dianggap sebagai persoalan. Para ahli memakai pendekatan harmonisasi untuk menyelesaikannya.[6]
Pada masa Pencerahan (enlightenment) yang muncul dalam abad ke-18 telah menjadi pemicu dan pemacu riset Yesus Sejarah.  Pencerahan muncul dengan penolakan klaim adi kodrati serta mengangkat rasio sebagai penentu utama kebenaran.  Pada saat yang sama di dalam dunia penelitian Alkitab juga berkembang minat yang luas pada penelitian sastra keempat Injil secara kritis.  Kedua hal inilah yang memainkan dua peranan besar dalam penelitian Yesus Sejarah mula-mula.
Hermann Samuel Reimarus adalah tokoh penting yang pertama kali mendekati Perjanjian Baru dengan pola pemisahan di atas.  Berdasarkan studinya, ia menyimpulkan bahwa:
“Kekristenan adalah agama yang dibangun di atas anggapan yang Salah tentang Yesus oleh murid-muridNya.  Ia tidak lebih dari pada seorang pembohong yang mengaku diri mesias. Ia hendak mendirikan kerajaan dunia untuk membebaskan orang Yahudi dari penindasan asing namun gagal.  Murid-murid-Nya yang bermimpi menjadi menteri-menteri tidak bisa menerima keadaan itu.  Mereka lalu mencari mayat Yesus, mengoreksi pelayanan dan berita Nya menjadi penderitaan bagi seluruh mausia dan berharap akan kedatangan-Nya yang kedua pada akhir zaman.” [7]
Jadi menurut Remairus keempat Injil tidak menyajikan cerita yang benar secara historis dan kebenaran iman Kristen bukan lagi diletakkan pada "kebenaran historis faktual" tetapi hanya pada kebenaran moral universal saja.
Karya Reimarus mempengaruhi banyak orang sesudahnya.  David Strauss,[8] misalnya, menegaskan bahwa kitab-kitab Injil mengandung mitos dan legenda yang mengandung kebenaran agama.  Mitos dan legenda ini digunakan gereja mula-mula untuk "menyelamatkan" relevansi Yesus.[9]  Selanjutnya ia mengatakan bahwa Kristus yang diimani oleh orang Kristen berbeda dengan Yesus yang sesungguhnya dalam sejarah.[10]  Makin lama, Yesus yang sederhana tersebut ditampilkan sebagai manusia yang pada dasarnya baik, seorang pengajar kebenaran-kebenaran rohani yang agung, namun bukanlah oknum kedua dari tritunggal yang sudah ada sebelum penjelmaan serta banyak mengadakan mukjisat itu.[11]  Diantara beberapa karya “kehidupan Yesus” yang terdapat karya David Straus[12] dan Ernest Renan.[13] 
Selain Strauss, ada juga H. J. Holtzmann yang berpendapat bahwa Injil Markus dan Q hanya menggambarkan Yesus sebagai guru etika saja.  Adolf von Harnack, yang mengembangkan pendekatan Albrecht Ristchl, juga menganut pandangan senada namun lebih jauh lagi, dengan mengikuti rasionalisme. Gambaran yang paling terkena dan paling berpengaruh  dibuat oleh Adolf von Harnack.  Dalam banyak hal dapat dikatakan bahwa karya Harnack merupakan puncak dan akhir dari usaha mencari Yesus.  Meurut Harnack, injil-injil tidak memberikan sarana untuk menyusun biografi yang lengkap tentang Yesus, karena sedikit sekali menceritakan tentang masa kanak-kanak Yesus.  Sekalipun demikian, kitab-kitab tersebut memberikan fakta-fakta yang pokok.  Harnack tidak percaya terhadap mukjisat yang dilakukan oleh Yesus, dan menganggap apa yang orang lain katakana tentang mukjizat sebagai sesuatu yang mengagumkan dan belum dapat dijelaskan, tetapi bukan mukjisat.  Penilaian Harnack mengenai amanat yang disampaikan Yesus dipandang sebagai pernyataan klasik dari pendirian teologis yang liberal.
Selanjutnya Periode riset kedua pada era tahun 1906-1952, ditandai dengan terbitnya tulisan Albert Schweitzer, The Quest of The Historical Jesus.[14]  Ia menolak kesimpulan The Old Quest yang dipandangnya telah memodernisir Yesus dan menjadikan-Nya menurut ide-ide teologis dan filosofis mereka."  Dalam ungkapan Marxsen, Old Quest menghasilkan "a 'result', one paints exactly that picture of the historical Jesus which one had in mind to begin with. [15]
Melawan Old Quest, Schweitzer menegaskan suatu pengertian tentang Yesus yang didasari pada eskatologi apokaliptik Yahudi.[16]  Menurutnya, selama pelayanan-Nya Yesus mengharapkan Anak Manusia muncul dan membangun Kerajaan Allah di bumi.  Namun tidak terjadi sehingga Yesus lalu memancing penguasa Yahudi mengeksekusi Dia sambil meyakini bahwa kematian-Nya akan memicu Intervensi Allah dalam sejarah.  Bagi orang Kristen, kematian Yesus mengilhami mereka untuk meneladani pengorbanan-Nya. [17]
Berbeda dengan Old Quest, Schweitzer lebih memusatkan perhatian pada situasi kultural di sekeliling Yesus.  Baginya, ini merupakan kunci untuk memahami Yesus.  Mulai dari Schweitzer timbullah skeptisisme radikal dalam riset Yesus Sejarah yang memandang mustahil untuk merekonstruksi Yesus Sejarah.  Namun diskontinuitas antara Yesus Sejarah dan Kristus Iman - warisan old Quest - tetap dipertahankan.  Karena itu Kristus Iman lebih penting. [18]
Pentingnya Kristus Iman ini makin dipertegas lagi dengan karya Martin Kahler, The So-Called Historical Jesus and The Historic Biblical Christ.  Kahler meringkaskan seruan peringatannya dalam bentuk yang sengaja bersifat menentang:  Yesus yang bersejarah karangan para penulis modern menyembunyikan Yesus yang hidup dari kami.”  Yesus dari “gerakan hidup Yesus” hanyalah sebuah contoh modern dari kreatifitas manusia, dan sama sekali tidak lebih baik dari Kristus yang dogmatis dari Kristologi Bizantium.  K ristus merupakan landasan bagi iman dari hidup kita dewasa ini.  Kita tidak mungkin mengetahui kejadian sejarah yang obyektif dan benar-benar terjadi.  Sebaliknya kita membangun iman kita hanyalah pada sejarah yang berearti, yang berhubungan dengan dampak Yesus pada nurid-murid.  Perbedaan yang dibuat Kahler ini dalam banyak hal merupakan pengaruh terbesar dari pada Kristologi selama parohan pertama abad ke-20.[19]
Sikap itu kemudian ditegaskan kembali oleh Rudolf Bultmann.[20] Namun tesisnya mengabaikan sama sekali elemen sejarah sehingga menurutnya iman yang membutuhkan topangan riset sejarah tentang hidup Yesus bukan lagi iman.  Karena itu dalam penafsiran kitab suci ia memprogramkan demitologisasi untuk membersihkan beritanya dari unsur-unsur mitos (bukan sejarah).
Pada tahun 1953, Ernst Kasemann,[21] menyampaikan suatu makalah yang kemudian diterbitkan dengan judul "The Problem of The Historical Jesus".  Dalam makalah ini, Kasemann menolak metodologi Bultmann dan menegaskan lagi ketidakmungkinan penulisan biografi Yesus menurut cara The Old Quest.  Injil bukan biografi Yesus tetapi sungguh mengacu kepada pribadi yang sungguh-sungguh nyata."
Bersama-sama dengan kawan-kawannya yang lain, Kasemann tetap membedakan Yesus Sejarah dan Kristus Iman.  Namun mereka ingin membangun kontinuitas di antara keduanya dengan suatu keyakinan bahwa "Within limits it is methodologically possible to reach relatively certain historical conclusions as a reminder to christian faith that Jesus its Lord was indeed human." [22]
Jesus Seminar merupakan gambaran terakhir riset-riset Yesus Sejarah. Sebagian besar, mereka menggunakan pendekatan kritik redaksi radikal untuk sampai pada gambaran Yesus Sejarah.  Untuk itu, mereka menggunakan evaluasi ucapan-ucapan Yesus dengan asumsi-asumsi berikut: (1) Yesus tidak pernah bertindak sebagai seorang nabi apokaliptis dari suatu Kerajaan Allah eskatologis; (2) Sebelum Injil ditulis ajaran Yesus diteruskan secara oral yang sebagian besar tidak dapat dipercaya; dan (3) the burden of proof jatuh pada mereka yang mencoba membela otentisitas Injil. [23]
Riset terakhir Yesus Sejarah ini (Third Quest) dapat dikatakan cenderung ke arah pandangan tradisional tentang Yesus sebagai Guru, Nabi dan Mesias walau demikian isinya masih tetap berbeda. Dalam teologi sistematika Wolfhart Pannenberg dan Hans Kung banyak dipengaruhi oleh penelitian Yesus Sejarah ini. Keduanya menekankan betapa perlunya berkristologi "dari bawah" (Christology from below).[24]
Pandangan Paulus
            Tak dapat disangkal bahwa bagi Paulus, pribadi yang telah bangkit dari kematian , dan diangkat ke surga dan sekarang memerintah sebagai Mesias itu adalah Yesus dari Nazaret.  Perdebatan masa kini tentang Yesus sejarah dan Kristus yang telah dimuliakan sering mengaburkan pemikiran Paulus dengan memaksanya menjawab pertanyaan pertanyaan yang tak pernah diajukannya para pakar modern tetap bersikeras bahwa Paulus tidak mengemukakan materi biografis tentang Yesus.[25]  Perhatiannya pada kehidupan, perkataan, serta perbuatan Yesus hanya sedikit, bahkan sesungguhnya ia tidak menaruh minat sama sekali pada Yesus sejarah, melainkan haya kepada Juruselamat “mitologis,”[26] ilahi dan menyangkut kritisisme radikal.  Yesus sejarah telah menghilang dari pandangan mata dan bersembunyi dibalik kuasa kepercayaan Kristen yang telah mengubah seorang nabi Yahudi menjadi pribadi ilahi yang menjelmah.
            Walaupun demikian, bagi Paulus Yesus yang dimulaiakan itu adalah Yesus dari Nazaret.  Paulus mengenal bahwa dia adalah seorang dari Nazaret.  Paulus mengenal bahwa ia adalah seorang Israel (Rom. 9:5), dari keturunan Daud (Rm. 1:3), yang hidup di bawah Taurat (Gal. 4:4), bahwa Ia mempunyai saudara yang bernama Yakobus (Gal. 1:19), bahwa Ia seorang yag miskin (2 Kor. 8:9), melayani di kalangan orang-orang Yahudi (Rom. 15:2), memiliki 12 murid (1 Kor 15:4), memulai tradisi perjamuan Tuhan (1 kor. 11:23), disalibkan, dikuburkan, dan bangkit dari kematian (2 Kor. 1:3,4; 1 Kor. 15:4).
            Paulus juga mengenal tradisi tardisi tentang sifat Yesus.  Ia berbicara tentang kerendahan dan kelemah lembutannya (2 Kor 10:1), ketaatannya epada Allah (Rom 5:19), kasihnya (Rm. 8:35), penyangkalan diriNya (Fil. 2:9).  Andrew mwnunjukkan bahwa referensi-referensi ini benar secara historis, karena karakteristiknya tidak siambil dari gambaran Yahudi tetapi mesias yang dikenal padawaktu itu; “karena taka da tulisan-tulisan dan hrapan-harapan Yahudi, bahkan hambah Yahweh itu pun tidak memberikan garis besar tentang sifat-sifat kelemahlembutan, simpati, kasih dan anugerah kepada Paulus.
            Kerygma Paulus pada dasarnya sama dengan Yesus, yakni bahwa didalam pribadi dan misi Yesus, Allah melawat manusia untuk membawa keselamatan mesianik kepada mereka.  Namun ada suatu perbedaan besar.  Paulus berdiri di sisi yang lain dari salib dan kebangkitan dan ia dapat melihat apa yang tak pernah diajarkan oleh Yesus, yaitu makna eskatologis dari kematian dan kebangkitan dari Yesus, yakni kehadiran pemerintahan Allah yang menebus, suatu lawatan Ilahi.[27]  Meskipun berkat kerajaan Alah itu hadir dalam perbuatan dan perkataan Yesus, namun berkat terbesar dari kerajaan Allah itu adalah penaklukan atas maut dan pemberian hidup; dan hal ini terlaksana hanya melalui kematian dan kebangkitan Yesus.
            Dengan kata lain, makna eskatologis keseluruhan dari pribadi dan perbuatan Yesus sejarah tidak hanya diabadikan , melainkan diperluas oleh kematian dan kebangkitannya.  Oleh sebab itu, ketika Paulus memberitakan makna eskatologis dari kematian, kebangkitan dan pemuliaan Kristus,  ia memberitakan seluruh maksud kehidupan, perbuatan, perkataan Yesus, bahkan lebih luas dari itu.  Kebungkamannya tentang Yesus tidak mencerminkan kekurang perhatiannya secara historis dan teologis terhadap Yesus , melainkan hanya situasi aktual dalam pengungkapan sejarah penebusan.  Segalah yang dimaksudkan Yesu dalam sejarah telah dimasukkan dan diperluas dalam pemeritaan tentang Dia yang telah dimuliakan.[28]
Dalam kristologi Paulus itu kita temukan garis pemikiran yang menuju ajaran bahwa dalam satu pribadi Yesus Kristus itu terdapat dua kodrat.  Dalam tulisan Paulus, terdapat tiga teks yang penting sebagai dasar Alkitabiah bagi ajaran tentang Kristus.  Tiga teks ini ialah Gal. 4:4 dimana pra-ekstensi Yesus itu dinyatakan, dan Rm 1:3-4 serta Filipi 2:5-11 yang menyebutkan bahwa Yesus mepunyai dua cara berada.
            Yesus ditegaskan Paulus dalam Gal4:4, “tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan, dan takluk kepada hukum taurat.”  Dengan kalimat ini Paulus mendasarkan bahwa masalah sebelum Yesus datang ke dunia, Ia sudah meupakan putera Bapa.  Dengan kata lain, keputraan-Nya bukan hanya berasal dari kelahiran-Nya di bumi ini.[29]
            Lebih jauh Paulus mengatakan dalam Rom. 1:3-4 bahwa Yesus mempunyai dua cara berbeda, yaitu “tentang anak-Nya, yang menurut daging diperanakkan dalam keturunan Daud, dan menurut Roh Kekudusan dinyatakan oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bahwa ia adalah anak Allah yang berkuasa , Yesus Kristus Tuhan Kita.”  Perikop ini kiranya semacam syahadat yang dikutip oleh Paulus.[30]  Di dalamnya diakui bahwa Yesus berada dengan dua cara, yaitu cara duniawi dan jasmani di suatu pihak dan cara surgawi atau rohani di lain pihak.  Menurut yang pertama itu Yesus serupa dengan kita manusia; menurut yang kedua, ia jauh melebihi kita.  Menurut daging Yesus Kristus berasal dari Daud, menurut Roh Kudus, Ia dinyatakan Anak Allah yang berkuasa.  Istilah “dinyatakan” tidak harus juga tidak bole diartikan secara adopsianis, seakan-akan Yesus baru sejak kebangkitan-Nya itu Anak Alla.  Walaupun keputraan ilahi Yesus didasarkan pada kebangkitan-Nya, namun Ia Putera Allah bukan baru sejak kebangkitan.  Justru karena Allah dengan membangkitkan Yesus itu membenarkan segalah sesuatu yang telah dikatakan dan diperbuat-Nya sebelum Paska, termasuk claim Yesus bahwa Ia berhak atas kuasa Ilahi, maka kebangkitannya itu “berlakuSurut” secara ontologis. Meskipun dalam tulisan Paulus belum terdapat sautu ajaran lengkap mengenai kedua kodrat Yesus.
Sebutan yang paling utama dan paling karakteristik bagi Yesus adalah Tuhan (kyrios).[31]  Inti dari pemberitaan Paulus adalah ke-Tuhan-an Kristus (1 Kor. 12:3).  Manusia masuk kedalam persekutuan gereja melalui kepercayaan akan kebangkitan dan mengakui ke-Tuhan-an Kristus (Rm. 10:9).  Paulus mengemukakan pengakuan ini dalam perkataan: “tidak ada seorang pun , yang dapat mengaku : Yesus adalah Tuhan, selain oleh Roh (Lih Mat. 7:21). Inilah tanda yang paling jelas dari orang Kristen: pengakuan ke-Tuhan-an Kristus (1 Kor. 1:2; Lih Kis. 9:14, 21; 22:16; 2 Tim. 2:22).
Pengertian dasar dari kyrios adalah sebuah sebutan yang diberikan kepada Yesus yang menyangkut fungsi-fungsi keilahian-Nya.  Jika pengakuan ke-Tuhan-an Yesus berarti keselamatan (Rom. 10:9), maka latar belakangnya adalah Konsep Perjanjian Laman tentang menyeruh nama Yahweh.[32]  Paulus sendiri menjelaskan ketika ia mengutip Yoel 2:32, “sebab barang siapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan”. (Rom 10:13).  Jadi kita melihat bahwa hari Tuhan (1 Kor. 5:5; 1 Tes 5:2, 2 tes 2:2) telah menjadi hari Tuhan Yesus (2 Kor 1:14).,  hari Tuhan Yesus Kristus (1 Kor. 1:8), bahkan hari Kristus (Fil. 1:6,10; 2:16).  Sebagai Tuhan, Kristus yang telah dimuliakan itu menjalankan hak perogatif Allah.  Dengan demikian kursi pengadilan Allah (Rom 14:10), juga merupakan Kursi pengadilan Kristus (2 Kor 5:10).  Allah akan menghakimi dunia melalui Kristus (Rom. 2:16); dan Allah memerintah dunia melalui Tuhan yang telah dimuliakan sampai berakhir pemerintahan mesianik-Nya.[33]
Dengan demikian jelaslah bahwa ke-Tuhan-an dan kemesiasan itu adalah kategori-kategori serupa, yaitu dua cara pengungkapan realitas yang sama.  Alasan lebih utaman ke-Tuhan-an atas kemesiasan dalam surat-surat Paulus bukan karena Ia tidak memahami kemesiasan atau ia tidak mau menerapkan kategori-kategori mesianik kepada Yesus, melainkan karena kemesiasan itu merupakan kekhususan Yahudi.  Paulus membicarakan Yesus sebagai Kristus dalam pernyataan tentang kegiatan misi memberitakan Injil.  Pemberitaan Yesus sebagai Mesias mengandung bahaya.  Karena harapan orang Yahudi mengenai Mesias yang dijanjikan sering kali menggambarkan Tokoh Penebus ini sebagai anak Daud,  istila mesias sering memiliki konotasi Politis:  mesias yang akan datang akan menjadi raja dan penguasa dan tidaklah bijaksana untuk terang-terangan membertakan seorang raja, selain kaisar di dunia Romawi lebih-lebih menyangkut pemerintahan seorang Yahudi yang tersalib.[34]  Oleh sebab itu, ketika Paulus menulis bahwa Yesus mati dan bangkit untuk menjadi Tuhan (kyrieuse), orang yang mati dan yang hidup (Rom. 14:9), maka yang dikatakannya tidak berbeda dengan penegasan bahwa Yesus harus memerintah sbagai raja (basileuein) sampai ia menaklukkan semua musuh-Nya (1 Kor 15:25). [35]
            Paulus tidak hanya sekedar memberitakan bahwa Yesus menyatakan diri sebagai Mesias yang dijanjikan.  Paulus memberitakan bahwa Yesus telah bangkit dari kematian dan sekarang menjadi Mesias yang dijanjikan dan menmpati otoritas sebagai Tuhan, yang menuntut ketaatan semua manusia, entah orang Yahudi, Yunani, atau Romawi.  Meskipun kepercayaan ini sangat berbahaya ditengah-tengah praktek penyembahan kepada kaisar yang di adakan di dunia Romawi yang ada pada saat itu.[36]
Kesimpulan
            Riset Yesus Sejarah muncul pada era pencerahan.  Kecenderungan yang berkembang pada masa ini adalah peninggian rasio sebagai penilai terakhir kebenaran.  Ini menimbulkan dampak yang besar dalam penelitian sejarah,selanjutnya. Untuk menguji kebenaran suatu klaim sejarah, orang mengembangkan suatu metode yang membedakan, menurut istilah Marxsen, presentasi suatu peristiwa dan peristiwanya itu sendiri.  Pada dirinya sendiri, metode berpikir semacam ini tidak salah.  Namun yang menjadi persoalan adalah kriteria yang dipakai untuk menilai suatu presentasi dan peristiwanya sendiri.  Problema ini makin rumit karena kriteria yang digunakan lebih sering bersifat subyektif dan dilandasi oleh prakonsepsi-prakonsepsi yang telah dimiliki oleh peneliti.  Artinya, orang datang dengan suatu gambaran tertentu tentang Yesus dan mencari pembuktiannya dari Injil.  Jika demikian, penilaian yang jujur dan obyektif sukar untuk diperoleh.
            Asumsi riset Yesus Sejarah bahwa Injil diragukan historisnya, jelas mengabaikan fakta bahwa Injil adalah dokumen sejarah yang dapat dipercayai.  Apa yang dicatat dan direkam dalam Injil adalah peristiwa yang memang sungguh-sungguh terjadi.
            Perjanjian Baru jelas menunjukkan bahwa Kristus yang bangkit sama dengan Yesus yang hidup dan mati itu.  Catatan perjanjian baru tidak pernah memisahkan apalagi sampai menganggap Kristus yang bangkit itu suatu tokoh asing yang tidak dikenal.  Dengan pemisahan yang semacam itu, riset Yesus Sejarah sebenarnya gagal dalam menyusun suatu landasan iman kepada Yesus Kristus secara teguh.
Rasul Paulus pernah berkata, jika Kristus tidak sungguh-sungguh bangkit, (dan karenanya bukan Tuhan), maka sia-sialah iman kita (lih. 1 Kor 15:14).  Jadi iman kita didasari oleh penjelmaan Tuhan sebagai manusia di dalam diri Yesus Kristus yang bangkit dari mati.  Inilah kebenaran sejarah yang kita imani, dan yang kita amini setiap kali kita mengucapkan Syahadat Aku Percaya: “Aku Percaya akan Allah, Pencipta langit dan bumi, dan akan Yesus Kristus, Putera-Nya yang tunggal Tuhan kita, yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria, yang menderita sengsara dalam pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, wafat, dan dimakamkan, yang turun ke tempat penantian, pada hari ketiga bangkit dari antara orang mati…”[37] Secara historis, Pontius Pilatus adalah nama gubernur pada jaman Yesus, sehingga dari sini kita mengetahui bahwa Yesus sungguh-sungguh hidup dan masuk dalam sejarah manusia.
Paulus tidak hanya sekedar memberitakan bahwa Yesus menyatakan diri sebagai Mesias yang dijanjikan.  Paulus memberitakan bahwa Yesus telah bangkit dari kematian dan sekarang menjadi Mesias yang dijanjikan dan menempati otoritas sebagai Tuhan, yang menuntut ketaatan semua manusia, entah orang Yahudi, Yunani, atau Romawi.
Pada akhirnya, kita harus mengakui soal menerima ke-Tuhanan Yesus adalah soal iman. Bagi mereka yang percaya, memang bukti sejarah sampai sedetail-detail-nya tidak diperlukan. Tapi bagi mereka yang tidak percaya, bahkan bukti yang sudah nyata dan detail sekalipun tidak dirasa cukup.  Akhirnya, kita meyakini bahwa iman adalah karunia. Kita percaya akan janji Tuhan Yesus, “… Inilah kehendak Bapa-Ku, yaitu supaya setiap orang, yang melihat Anak dan percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal, dan supaya Aku membangkitkannya pada akhir zaman.” (Yoh 6:40).  Dan karena Tuhan Yesuslah yang menghakimi semua orang di akhir zaman nanti, patutlah kita memegang janjiNya ini, dan dengan iman yang teguh kepada-Nya, kita percaya Dia akan memenuhi janji-Nya. Terpujilah Tuhan Yesus!



[1] Milard J. Erickson, Teologi Kristen Volume 2, ( Malang: Gandum Mas, 2003), 289.
[2] Ibid, 290.
[3] Milard J. Erickson, Teologi Kristen Volume 2, ( Malang: Gandum Mas, 2003), 290.
[4] Ingrid Listiati, “Kristus Yang Kita Imani Menurut Sejarah,”[Artikel Online], Diambil Dari Http://Www.Katolisitas.Org/501/Kristus-Yang-Kita-Imani-Yesus-Menurut-Sejarah, Diakses Selasa 27 April 2015.
[5] Markus Dominggus L. D., “Yesus Sejarah,” [artikel on-line], diambil dari  http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=728&res=jpz, diakses 10 Mei 2015.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] David Friedrich Strauss adalah tokoh Biblical Rationalism yang memakai filosofi Hegel untuk meneliti hidup Yesus. Buku karangannya adalah, Life of Jesus Critically Examined, dan ia berkesimpulan bahwa alkitab adalah mitos dan bukan sejarah.
[9] Ibid.
[10] Listiati.
[11] Erickson, 291.
[12] David Strauss, A New Life of Jesus, edisi ke-2 (London:  Williams dan Norgate, 1879), dikutib dalam Millard J. Erickson, Teologi Kristen, Volume 2 ( Malang: Gandum Mas, 2003), 291.
[13]  Ernest Renan, Life of Jesus,( New York: Grosset dan Dunlap, 1856), dikutib dalam Millard J. Erickson, teologi Kristen, Volume 2 ( Malang: Gandum Mas, 2003), 291.
[14] Erickson, 293.
[15] Dominggus.
[16] Erickson,293.
[17] Ibid.
[18] Dominggus.
[19] Ibid.
[20] Erickson, 294.
[21] Ibid. 294.
[22] Ibid, 297-300.
[23]  Hok Liong’ “Yesus Sejarah Dan Analisis Redaksi,” [artikel on-line], diambil darihttp://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=735&res=jpz, diakses 10 mei 2015.
[24] Ibid.
[25] George Eldon Ladd,  Teologi Perjanjia Baru:Jilid 2  (Bandung:Kalam Hidup, 2014), 150-151.
[26] Istila mitologis disini menunjukkan unsur apa saja yang melampaui pengalaman historis manusia biasa, seperti yang supranatural atau mukjizat.
[27] Ladd, 153.
[28] Ibid, 154.
[29]  Nico Syukur Dister,OFM, Teologi Sistematika 1, Allah Penyelamat,  Yogyakarta: Penerbit kanisius, 2004, 188-190.
[30]  Ibid.
[31] Ladd 156.
[32] Kemuliaan yang diperoleh Yesus dengan kebangkitan Nya di kalangan Yunani tidak diungkkapkan dengan nama “Khristos” yang seluruhnya bersifatdan berlatar belakang Yahudi, melainkan dengan nama kehormatan yang khas Yunani, yakni Tuhan “Kyrios”,.  Dengan demikian memang tidak diungkapkan sifat historis, khususnya tempat Yesus dalam kesejarahankeselamatan, tetapi segalah perhatian langsung diarahkan kepada kemuliaan dan kekuasaan Pribadi Yesus.  Lebih lagi, karena nama “Kyrios” dalam LXX dipergunakan untuk Allah sendiri, maka dengan nama ini lebih diungkapkan keluhuran dan kedudukan tinggi Yesus.  Dengan demikian kata “Kyrios” tidak seluruhnya mengganti nama “Kristos” .  kata “Kiryos” mempunyai latar belakang, dan oleh karena itu juga arti yang khusus.  Bukan peristiwa keselamatan, melainkan pribadi Kristus yang ditonjolkan.  Akan tetapi, justru dalam Kristologinyakelihatan bahwa Paulus sendiri lebih berpikir dari latar belakang  Yahudi daripada alam pikiran Yunani.  Bagi Paulus, Kristus adalah pertama-tama seorang tokoh historis, jalam keselamatan Alah.  { T. Jacobs SY., Paulus, Hidup, Karya dan Teologinya,  (Yogyakarta: Kanisius & Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1983), 133.}
[33] Ladd 158
[34] Eckhard J. Schnabel, Rasul Paulus sang Misionaris: Perjalanan, Strategi, dan Metode Misi Rasul Paulus (Yogyakarta: ANDI Offset, 2010), 198-199.
[35] Ladd 158.
[36] Enklark, 199.
[37] Selengkapnya dapat dilihat dalam “Duabelas Pengakuan Iaman Rasuli  yang dihafalkan dan katakana secara bersama-sama dalam setiap ibadah gereja protestan.

No comments:

Post a Comment

Ketika Firman kita ucapkan pada setiap keadaan itu, kita menghadirkan Allah kedalamnya

  Yohanes 1:1-5 "Pada mulanya adalah Firman, Firman itu bersama-sama dengan Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segalah s...

Popular Posts