Pendahuluan
Manusia
diciptakan untuk mengasihi, melayani, dan bersekutu dengan Allah. Namun manusia gagal memenuhi maksud ilahi untuk
dirinya, karena semua manusia telah berbuat dosa. Dengan demikian, pengertia kita mengenai
pribadi dan karya Kristus terbit langsung dari Doktrin tentang manusia dan
dosa. [1]
Pada
saat mempelajari pribadi dan karya Kristus, kita berada pada pusat teologi
kristen. Karena menurut defenisi istila
Kristen, itu sendiri berarti orang yang percaya kepada Kristus dan menjadi
pengikut Kristus. Maka pengertian
tentang Kristus harus yang utama dan meyakinkan mengenai sifat iman
Kristen. Semua hal lain dengan
sendirinya tidaklah sepenting dengan apa yang kita pikirkan takkala menyusun
Kristologi kita.[2]
Selama jangka waktu yang cukup
lama, para teolog membatasi pembahasan mereka mengenai Kristus pada pandangan
yang diungkapkan dalam tradisi denominasi atau kepercayaan mereka
masing-masing. Tradisi-tradisi ini
cenderung mengikuti pendapat-pendapat yang dirumuskan dalam konsili-konsili
oikumenis pada abad-abad awal gereja.
Ketika itu, persoalan-persoalan Kristologi lebih banyak diungkapkan
secara metafisik. Bagaimana mungkin
ke-Allahan Yesus dapat hidup berdampingan dengan kemanusiaannya ?, Namun dewasa ini fokusnya telah berubah. Di berbagai kalangan tertentu teologi
menentang, atau setidak-tidaknya tidak menggubris masalah-masalah
metafisik. Oleh karena itu, pelajaran
mengenai Kristus dewasa ini lebih bertalian dengan sejarah. Salahsatu persoalannya ialah kecuriagaan bawa
Yesus yang dikemukakan tradsi teologi itu berbeda dengan Yesus yang pernah
hidup di Palestina, serta mengajar dan bekerja di antara murid-murid-Nya dan
orang banyak.[3]
Dengan
adanya aliran Modernisme dan Liberalisme, ada banyak orang yang mempertanyakan
ke-Tuhanan Yesus. Mereka berpendapat,
jika Kitab Suci tidak dapat dibuktikan secara historis, maka berarti isinya
belum tentu benar. Akibatnya, mereka
memisahkan Yesus sebagai Yesus yang sesungguhnya menurut sejarah (the Jesus
of History), dan Yesus yang diimani oleh orang Kristen (the Christ of
Faith), dan mengatakan bahwa Yesus yang diimani orang Kristen itu tidak
sama dengan Yesus yang sesungguhnya ada dalam sejarah. Contohnya adalah the
Five Gospels of the Jesus’ Seminar dan buku
karangan Dan Brown, Da Vinci Code, yang intinya menyatakan bahwa
seolah Yesus ‘dijadikan’ Tuhan oleh para pengikutNya, dan ke-Tuhanan Yesus baru
diresmikan oleh Kaisar Konstantin sekitar tahun 325.[4]
Berbagai
Pandangan
Dalam
satu abad terakhir dunia teknologi sedang menyaksikan suatu perkembangan yang
demikian pesat dalam penelitian Yesus Sejarah (Historical Jesus). Perkembangan ini oleh para ahli bahkan telah
mencapai "The Third Quest. Riset
terakhir Yesus Sejarah dalam kesimpulannya mengatakan:
"Jesus may never have said 82 percent of what the
gospels attribute to Him. The only verifiably authentic part of The Lord's
Prayer is 'our Father'. Jesus never preached a Gospel of Salvation through His
death, He never worked any miracles, and He most certainly was not raised from
the dead ... According to some of these scholars, The Real Jesus more of a
social critic like Socrates than The Messianic Son of God and Agent of The
Kingdom of God."[5]
Studi
terhadap Yesus Sejarah membuktikan bahwa ia sangat terkait erat dengan
berkembangnya pandangan teologis atas Alkitab.
Pada masa Pra-Riset sebelum tahun 1778, ini orang tanpa keraguan menerima
bahwa tidak ada perbedaan antara Kristus Iman dan Yesus Sejarah, keduanya
identik. Walaupun dalam studi atas kitab-kitab
Injil ditemukan perbedaan namun itu tidak dianggap sebagai persoalan. Para ahli
memakai pendekatan harmonisasi untuk menyelesaikannya.[6]
Pada masa Pencerahan (enlightenment) yang muncul dalam abad ke-18
telah menjadi pemicu dan pemacu riset Yesus Sejarah. Pencerahan muncul dengan penolakan klaim adi
kodrati serta mengangkat rasio sebagai penentu utama kebenaran. Pada saat yang sama di dalam dunia penelitian
Alkitab juga berkembang minat yang luas pada penelitian sastra keempat Injil
secara kritis. Kedua hal inilah yang
memainkan dua peranan besar dalam penelitian Yesus Sejarah mula-mula.
Hermann Samuel Reimarus adalah tokoh penting yang pertama
kali mendekati Perjanjian Baru dengan pola pemisahan di atas. Berdasarkan studinya, ia menyimpulkan bahwa:
“Kekristenan adalah agama yang dibangun di atas anggapan
yang Salah tentang Yesus oleh murid-muridNya. Ia tidak lebih dari pada seorang pembohong
yang mengaku diri mesias. Ia hendak mendirikan kerajaan dunia untuk membebaskan
orang Yahudi dari penindasan asing namun gagal. Murid-murid-Nya yang bermimpi menjadi
menteri-menteri tidak bisa menerima keadaan itu. Mereka lalu mencari mayat Yesus, mengoreksi
pelayanan dan berita Nya menjadi penderitaan bagi seluruh mausia dan berharap
akan kedatangan-Nya yang kedua pada akhir zaman.” [7]
Jadi
menurut Remairus keempat Injil tidak menyajikan cerita yang benar secara
historis dan kebenaran iman Kristen bukan lagi diletakkan pada "kebenaran
historis faktual" tetapi hanya pada kebenaran moral universal saja.
Karya
Reimarus mempengaruhi banyak orang sesudahnya. David Strauss,[8]
misalnya, menegaskan bahwa kitab-kitab Injil mengandung mitos dan legenda yang
mengandung kebenaran agama. Mitos dan
legenda ini digunakan gereja mula-mula untuk "menyelamatkan"
relevansi Yesus.[9] Selanjutnya ia mengatakan bahwa Kristus yang
diimani oleh orang Kristen berbeda dengan Yesus yang sesungguhnya dalam
sejarah.[10] Makin lama, Yesus yang sederhana tersebut
ditampilkan sebagai manusia yang pada dasarnya baik, seorang pengajar kebenaran-kebenaran
rohani yang agung, namun bukanlah oknum kedua dari tritunggal yang sudah ada
sebelum penjelmaan serta banyak mengadakan mukjisat itu.[11] Diantara beberapa karya “kehidupan Yesus”
yang terdapat karya David Straus[12]
dan Ernest Renan.[13]
Selain
Strauss, ada juga H. J. Holtzmann yang berpendapat bahwa Injil Markus dan Q
hanya menggambarkan Yesus sebagai guru etika saja. Adolf von Harnack, yang mengembangkan
pendekatan Albrecht Ristchl, juga menganut pandangan senada namun lebih jauh
lagi, dengan mengikuti rasionalisme. Gambaran yang paling terkena dan paling
berpengaruh dibuat oleh Adolf von
Harnack. Dalam banyak hal dapat
dikatakan bahwa karya Harnack merupakan puncak dan akhir dari usaha mencari
Yesus. Meurut Harnack, injil-injil tidak
memberikan sarana untuk menyusun biografi yang lengkap tentang Yesus, karena
sedikit sekali menceritakan tentang masa kanak-kanak Yesus. Sekalipun demikian, kitab-kitab tersebut
memberikan fakta-fakta yang pokok.
Harnack tidak percaya terhadap mukjisat yang dilakukan oleh Yesus, dan
menganggap apa yang orang lain katakana tentang mukjizat sebagai sesuatu yang
mengagumkan dan belum dapat dijelaskan, tetapi bukan mukjisat. Penilaian Harnack mengenai amanat yang
disampaikan Yesus dipandang sebagai pernyataan klasik dari pendirian teologis
yang liberal.
Selanjutnya
Periode riset kedua pada era tahun 1906-1952, ditandai dengan terbitnya tulisan
Albert Schweitzer, The Quest of The Historical Jesus.[14]
Ia menolak kesimpulan The Old Quest yang
dipandangnya telah memodernisir Yesus dan menjadikan-Nya menurut ide-ide
teologis dan filosofis mereka." Dalam
ungkapan Marxsen, Old Quest menghasilkan "a 'result', one paints exactly that picture of the historical Jesus
which one had in mind to begin with. [15]
Melawan
Old Quest, Schweitzer menegaskan suatu pengertian tentang Yesus yang didasari
pada eskatologi apokaliptik Yahudi.[16] Menurutnya, selama pelayanan-Nya Yesus
mengharapkan Anak Manusia muncul dan membangun Kerajaan Allah di bumi. Namun tidak terjadi sehingga Yesus lalu memancing
penguasa Yahudi mengeksekusi Dia sambil meyakini bahwa kematian-Nya akan memicu
Intervensi Allah dalam sejarah. Bagi
orang Kristen, kematian Yesus mengilhami mereka untuk meneladani
pengorbanan-Nya. [17]
Berbeda dengan Old Quest, Schweitzer
lebih memusatkan perhatian pada situasi kultural di sekeliling Yesus. Baginya, ini merupakan kunci untuk memahami
Yesus. Mulai dari Schweitzer timbullah
skeptisisme radikal dalam riset Yesus Sejarah yang memandang mustahil untuk
merekonstruksi Yesus Sejarah. Namun diskontinuitas
antara Yesus Sejarah dan Kristus Iman - warisan old Quest - tetap
dipertahankan. Karena itu Kristus Iman
lebih penting. [18]
Pentingnya
Kristus Iman ini makin dipertegas lagi dengan karya Martin Kahler, The
So-Called Historical Jesus and The Historic Biblical Christ. Kahler meringkaskan seruan peringatannya dalam
bentuk yang sengaja bersifat menentang: “Yesus
yang bersejarah karangan para penulis modern menyembunyikan Yesus yang hidup
dari kami.” Yesus dari “gerakan
hidup Yesus” hanyalah sebuah contoh modern dari kreatifitas manusia, dan sama sekali
tidak lebih baik dari Kristus yang dogmatis dari Kristologi Bizantium. K ristus merupakan landasan bagi iman dari
hidup kita dewasa ini. Kita tidak
mungkin mengetahui kejadian sejarah yang obyektif dan benar-benar terjadi. Sebaliknya kita membangun iman kita hanyalah
pada sejarah yang berearti, yang berhubungan dengan dampak Yesus pada
nurid-murid. Perbedaan yang dibuat
Kahler ini dalam banyak hal merupakan pengaruh terbesar dari pada Kristologi
selama parohan pertama abad ke-20.[19]
Sikap
itu kemudian ditegaskan kembali oleh Rudolf Bultmann.[20]
Namun tesisnya mengabaikan sama sekali elemen sejarah sehingga menurutnya iman
yang membutuhkan topangan riset sejarah tentang hidup Yesus bukan lagi
iman. Karena itu dalam penafsiran kitab
suci ia memprogramkan demitologisasi untuk membersihkan beritanya dari
unsur-unsur mitos (bukan sejarah).
Pada
tahun 1953, Ernst Kasemann,[21]
menyampaikan suatu makalah yang kemudian diterbitkan dengan judul "The
Problem of The Historical Jesus". Dalam makalah ini, Kasemann menolak metodologi
Bultmann dan menegaskan lagi ketidakmungkinan penulisan biografi Yesus menurut
cara The Old Quest. Injil bukan biografi
Yesus tetapi sungguh mengacu kepada pribadi yang sungguh-sungguh nyata."
Bersama-sama
dengan kawan-kawannya yang lain, Kasemann tetap membedakan Yesus Sejarah dan
Kristus Iman. Namun mereka ingin
membangun kontinuitas di antara keduanya dengan suatu keyakinan bahwa "Within limits it is methodologically
possible to reach relatively certain historical conclusions as a reminder to
christian faith that Jesus its Lord was indeed human." [22]
Jesus
Seminar merupakan gambaran terakhir riset-riset Yesus Sejarah. Sebagian besar,
mereka menggunakan pendekatan kritik redaksi radikal untuk sampai pada gambaran
Yesus Sejarah. Untuk itu, mereka
menggunakan evaluasi ucapan-ucapan Yesus dengan asumsi-asumsi berikut: (1)
Yesus tidak pernah bertindak sebagai seorang nabi apokaliptis dari suatu
Kerajaan Allah eskatologis; (2) Sebelum Injil ditulis ajaran Yesus diteruskan
secara oral yang sebagian besar tidak dapat dipercaya; dan (3) the burden of
proof jatuh pada mereka yang mencoba membela otentisitas Injil. [23]
Riset
terakhir Yesus Sejarah ini (Third Quest) dapat dikatakan cenderung ke arah
pandangan tradisional tentang Yesus sebagai Guru, Nabi dan Mesias walau
demikian isinya masih tetap berbeda. Dalam teologi sistematika Wolfhart
Pannenberg dan Hans Kung banyak dipengaruhi oleh penelitian Yesus Sejarah ini.
Keduanya menekankan betapa perlunya berkristologi "dari bawah"
(Christology from below).[24]
Pandangan
Paulus
Tak
dapat disangkal bahwa bagi Paulus, pribadi yang telah bangkit dari kematian ,
dan diangkat ke surga dan sekarang memerintah sebagai Mesias itu adalah Yesus
dari Nazaret. Perdebatan masa kini
tentang Yesus sejarah dan Kristus yang telah dimuliakan sering mengaburkan
pemikiran Paulus dengan memaksanya menjawab pertanyaan pertanyaan yang tak
pernah diajukannya para pakar modern tetap bersikeras bahwa Paulus tidak
mengemukakan materi biografis tentang Yesus.[25]
Perhatiannya pada kehidupan, perkataan,
serta perbuatan Yesus hanya sedikit, bahkan sesungguhnya ia tidak menaruh minat
sama sekali pada Yesus sejarah, melainkan haya kepada Juruselamat “mitologis,”[26]
ilahi dan menyangkut kritisisme radikal.
Yesus sejarah telah menghilang dari pandangan mata dan bersembunyi
dibalik kuasa kepercayaan Kristen yang telah mengubah seorang nabi Yahudi
menjadi pribadi ilahi yang menjelmah.
Walaupun
demikian, bagi Paulus Yesus yang dimulaiakan itu adalah Yesus dari Nazaret. Paulus mengenal bahwa dia adalah seorang dari
Nazaret. Paulus mengenal bahwa ia adalah
seorang Israel (Rom. 9:5), dari keturunan Daud (Rm. 1:3), yang hidup di bawah
Taurat (Gal. 4:4), bahwa Ia mempunyai saudara yang bernama Yakobus (Gal. 1:19),
bahwa Ia seorang yag miskin (2 Kor. 8:9), melayani di kalangan orang-orang
Yahudi (Rom. 15:2), memiliki 12 murid (1 Kor 15:4), memulai tradisi perjamuan
Tuhan (1 kor. 11:23), disalibkan, dikuburkan, dan bangkit dari kematian (2 Kor.
1:3,4; 1 Kor. 15:4).
Paulus
juga mengenal tradisi tardisi tentang sifat Yesus. Ia berbicara tentang kerendahan dan kelemah lembutannya
(2 Kor 10:1), ketaatannya epada Allah (Rom 5:19), kasihnya (Rm. 8:35),
penyangkalan diriNya (Fil. 2:9). Andrew
mwnunjukkan bahwa referensi-referensi ini benar secara historis, karena
karakteristiknya tidak siambil dari gambaran Yahudi tetapi mesias yang dikenal
padawaktu itu; “karena taka da tulisan-tulisan dan hrapan-harapan Yahudi,
bahkan hambah Yahweh itu pun tidak memberikan garis besar tentang sifat-sifat
kelemahlembutan, simpati, kasih dan anugerah kepada Paulus.
Kerygma
Paulus pada dasarnya sama dengan Yesus, yakni bahwa didalam pribadi dan misi
Yesus, Allah melawat manusia untuk membawa keselamatan mesianik kepada mereka. Namun ada suatu perbedaan besar. Paulus berdiri di sisi yang lain dari salib
dan kebangkitan dan ia dapat melihat apa yang tak pernah diajarkan oleh Yesus,
yaitu makna eskatologis dari kematian dan kebangkitan dari Yesus, yakni
kehadiran pemerintahan Allah yang menebus, suatu lawatan Ilahi.[27] Meskipun berkat kerajaan Alah itu hadir dalam
perbuatan dan perkataan Yesus, namun berkat terbesar dari kerajaan Allah itu
adalah penaklukan atas maut dan pemberian hidup; dan hal ini terlaksana hanya
melalui kematian dan kebangkitan Yesus.
Dengan
kata lain, makna eskatologis keseluruhan dari pribadi dan perbuatan Yesus
sejarah tidak hanya diabadikan , melainkan diperluas oleh kematian dan
kebangkitannya. Oleh sebab itu, ketika
Paulus memberitakan makna eskatologis dari kematian, kebangkitan dan pemuliaan
Kristus, ia memberitakan seluruh maksud
kehidupan, perbuatan, perkataan Yesus, bahkan lebih luas dari itu. Kebungkamannya tentang Yesus tidak
mencerminkan kekurang perhatiannya secara historis dan teologis terhadap Yesus
, melainkan hanya situasi aktual dalam pengungkapan sejarah penebusan. Segalah yang dimaksudkan Yesu dalam sejarah
telah dimasukkan dan diperluas dalam pemeritaan tentang Dia yang telah
dimuliakan.[28]
Dalam kristologi Paulus itu kita
temukan garis pemikiran yang menuju ajaran bahwa dalam satu pribadi Yesus
Kristus itu terdapat dua kodrat. Dalam
tulisan Paulus, terdapat tiga teks yang penting sebagai dasar Alkitabiah bagi
ajaran tentang Kristus. Tiga teks ini
ialah Gal. 4:4 dimana pra-ekstensi Yesus itu dinyatakan, dan Rm 1:3-4 serta
Filipi 2:5-11 yang menyebutkan bahwa Yesus mepunyai dua cara berada.
Yesus
ditegaskan Paulus dalam Gal4:4, “tetapi setelah genap waktunya, maka Allah
mengutus anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan, dan takluk kepada hukum
taurat.” Dengan kalimat ini Paulus
mendasarkan bahwa masalah sebelum Yesus datang ke dunia, Ia sudah meupakan
putera Bapa. Dengan kata lain,
keputraan-Nya bukan hanya berasal dari kelahiran-Nya di bumi ini.[29]
Lebih
jauh Paulus mengatakan dalam Rom. 1:3-4 bahwa Yesus mempunyai dua cara berbeda,
yaitu “tentang anak-Nya, yang menurut
daging diperanakkan dalam keturunan Daud, dan menurut Roh Kekudusan dinyatakan
oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bahwa ia adalah anak Allah yang
berkuasa , Yesus Kristus Tuhan Kita.”
Perikop ini kiranya semacam syahadat yang dikutip oleh Paulus.[30] Di dalamnya diakui bahwa Yesus berada dengan
dua cara, yaitu cara duniawi dan jasmani di suatu pihak dan cara surgawi atau
rohani di lain pihak. Menurut yang pertama
itu Yesus serupa dengan kita manusia; menurut yang kedua, ia jauh melebihi
kita. Menurut daging Yesus Kristus
berasal dari Daud, menurut Roh Kudus, Ia dinyatakan Anak Allah yang berkuasa. Istilah “dinyatakan” tidak harus juga tidak
bole diartikan secara adopsianis, seakan-akan Yesus baru sejak kebangkitan-Nya
itu Anak Alla. Walaupun keputraan ilahi
Yesus didasarkan pada kebangkitan-Nya, namun Ia Putera Allah bukan baru sejak
kebangkitan. Justru karena Allah dengan
membangkitkan Yesus itu membenarkan segalah sesuatu yang telah dikatakan dan
diperbuat-Nya sebelum Paska, termasuk claim
Yesus bahwa Ia berhak atas kuasa Ilahi, maka kebangkitannya itu
“berlakuSurut” secara ontologis. Meskipun dalam tulisan Paulus belum terdapat
sautu ajaran lengkap mengenai kedua kodrat Yesus.
Sebutan yang paling utama dan
paling karakteristik bagi Yesus adalah Tuhan (kyrios).[31] Inti dari pemberitaan Paulus adalah
ke-Tuhan-an Kristus (1 Kor. 12:3). Manusia
masuk kedalam persekutuan gereja melalui kepercayaan akan kebangkitan dan
mengakui ke-Tuhan-an Kristus (Rm. 10:9). Paulus mengemukakan pengakuan ini dalam
perkataan: “tidak ada seorang pun , yang dapat mengaku : Yesus adalah Tuhan,
selain oleh Roh (Lih Mat. 7:21). Inilah tanda yang paling jelas dari orang
Kristen: pengakuan ke-Tuhan-an Kristus (1 Kor. 1:2; Lih Kis. 9:14, 21; 22:16; 2
Tim. 2:22).
Pengertian dasar dari kyrios adalah sebuah sebutan yang
diberikan kepada Yesus yang menyangkut fungsi-fungsi keilahian-Nya. Jika pengakuan ke-Tuhan-an Yesus berarti
keselamatan (Rom. 10:9), maka latar belakangnya adalah Konsep Perjanjian Laman
tentang menyeruh nama Yahweh.[32] Paulus sendiri menjelaskan ketika ia mengutip
Yoel 2:32, “sebab barang siapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan
diselamatkan”. (Rom 10:13). Jadi kita melihat
bahwa hari Tuhan (1 Kor. 5:5; 1 Tes 5:2, 2 tes 2:2) telah menjadi hari Tuhan
Yesus (2 Kor 1:14)., hari Tuhan Yesus
Kristus (1 Kor. 1:8), bahkan hari Kristus (Fil. 1:6,10; 2:16). Sebagai Tuhan, Kristus yang telah dimuliakan
itu menjalankan hak perogatif Allah.
Dengan demikian kursi pengadilan Allah (Rom 14:10), juga merupakan Kursi
pengadilan Kristus (2 Kor 5:10). Allah
akan menghakimi dunia melalui Kristus (Rom. 2:16); dan Allah memerintah dunia
melalui Tuhan yang telah dimuliakan sampai berakhir pemerintahan mesianik-Nya.[33]
Dengan demikian jelaslah bahwa
ke-Tuhan-an dan kemesiasan itu adalah kategori-kategori serupa, yaitu dua cara
pengungkapan realitas yang sama. Alasan
lebih utaman ke-Tuhan-an atas kemesiasan dalam surat-surat Paulus bukan karena
Ia tidak memahami kemesiasan atau ia tidak mau menerapkan kategori-kategori
mesianik kepada Yesus, melainkan karena kemesiasan itu merupakan kekhususan
Yahudi. Paulus membicarakan Yesus
sebagai Kristus dalam pernyataan tentang kegiatan misi memberitakan Injil. Pemberitaan Yesus sebagai Mesias mengandung
bahaya. Karena harapan orang Yahudi
mengenai Mesias yang dijanjikan sering kali menggambarkan Tokoh Penebus ini
sebagai anak Daud, istila mesias sering
memiliki konotasi Politis: mesias yang
akan datang akan menjadi raja dan penguasa dan tidaklah bijaksana untuk
terang-terangan membertakan seorang raja, selain kaisar di dunia Romawi lebih-lebih
menyangkut pemerintahan seorang Yahudi yang tersalib.[34] Oleh sebab itu, ketika Paulus menulis bahwa
Yesus mati dan bangkit untuk menjadi Tuhan (kyrieuse),
orang yang mati dan yang hidup (Rom. 14:9), maka yang dikatakannya tidak
berbeda dengan penegasan bahwa Yesus harus memerintah sbagai raja (basileuein) sampai ia menaklukkan semua musuh-Nya
(1 Kor 15:25). [35]
Paulus
tidak hanya sekedar memberitakan bahwa Yesus menyatakan diri sebagai Mesias
yang dijanjikan. Paulus memberitakan
bahwa Yesus telah bangkit dari kematian dan sekarang menjadi Mesias yang
dijanjikan dan menmpati otoritas sebagai Tuhan, yang menuntut ketaatan semua
manusia, entah orang Yahudi, Yunani, atau Romawi. Meskipun kepercayaan ini sangat berbahaya
ditengah-tengah praktek penyembahan kepada kaisar yang di adakan di dunia Romawi
yang ada pada saat itu.[36]
Kesimpulan
Riset Yesus Sejarah muncul pada era
pencerahan. Kecenderungan yang
berkembang pada masa ini adalah peninggian rasio sebagai penilai terakhir
kebenaran. Ini menimbulkan dampak yang
besar dalam penelitian sejarah,selanjutnya. Untuk menguji kebenaran suatu klaim
sejarah, orang mengembangkan suatu metode yang membedakan, menurut istilah
Marxsen, presentasi suatu peristiwa dan peristiwanya itu sendiri. Pada dirinya sendiri, metode berpikir semacam
ini tidak salah. Namun yang menjadi
persoalan adalah kriteria yang dipakai untuk menilai suatu presentasi dan
peristiwanya sendiri. Problema ini makin
rumit karena kriteria yang digunakan lebih sering bersifat subyektif dan
dilandasi oleh prakonsepsi-prakonsepsi yang telah dimiliki oleh peneliti. Artinya, orang datang dengan suatu gambaran
tertentu tentang Yesus dan mencari pembuktiannya dari Injil. Jika demikian, penilaian yang jujur dan
obyektif sukar untuk diperoleh.
Asumsi riset Yesus Sejarah bahwa
Injil diragukan historisnya, jelas mengabaikan fakta bahwa Injil adalah dokumen
sejarah yang dapat dipercayai. Apa yang
dicatat dan direkam dalam Injil adalah peristiwa yang memang sungguh-sungguh
terjadi.
Perjanjian Baru jelas menunjukkan
bahwa Kristus yang bangkit sama dengan Yesus yang hidup dan mati itu. Catatan perjanjian baru tidak pernah
memisahkan apalagi sampai menganggap Kristus yang bangkit itu suatu tokoh asing
yang tidak dikenal. Dengan pemisahan
yang semacam itu, riset Yesus Sejarah sebenarnya gagal dalam menyusun suatu
landasan iman kepada Yesus Kristus secara teguh.
Rasul
Paulus pernah berkata, jika Kristus tidak sungguh-sungguh bangkit, (dan
karenanya bukan Tuhan), maka sia-sialah iman kita (lih. 1 Kor 15:14). Jadi iman kita didasari oleh penjelmaan Tuhan
sebagai manusia di dalam diri Yesus Kristus yang bangkit dari mati. Inilah kebenaran sejarah yang kita imani, dan
yang kita amini setiap kali kita mengucapkan Syahadat Aku Percaya: “Aku Percaya akan Allah, Pencipta langit dan bumi, dan
akan Yesus Kristus, Putera-Nya yang tunggal Tuhan kita, yang dikandung dari Roh
Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria, yang menderita sengsara dalam
pemerintahan Pontius Pilatus,
disalibkan, wafat, dan dimakamkan, yang turun ke tempat penantian, pada hari
ketiga bangkit dari antara orang mati…”[37]
Secara historis, Pontius Pilatus adalah nama gubernur pada jaman Yesus,
sehingga dari sini kita mengetahui bahwa Yesus sungguh-sungguh hidup dan masuk
dalam sejarah manusia.
Paulus tidak hanya sekedar
memberitakan bahwa Yesus menyatakan diri sebagai Mesias yang dijanjikan. Paulus memberitakan bahwa Yesus telah bangkit
dari kematian dan sekarang menjadi Mesias yang dijanjikan dan menempati
otoritas sebagai Tuhan, yang menuntut ketaatan semua manusia, entah orang
Yahudi, Yunani, atau Romawi.
Pada
akhirnya, kita harus mengakui soal menerima ke-Tuhanan Yesus adalah soal iman.
Bagi mereka yang percaya, memang bukti sejarah sampai sedetail-detail-nya tidak
diperlukan. Tapi bagi mereka yang tidak percaya, bahkan bukti yang sudah nyata
dan detail sekalipun tidak dirasa cukup.
Akhirnya, kita meyakini bahwa iman adalah karunia. Kita percaya akan
janji Tuhan Yesus, “… Inilah kehendak Bapa-Ku, yaitu supaya setiap orang, yang melihat Anak
dan percaya kepada-Nya beroleh
hidup yang kekal, dan supaya Aku
membangkitkannya pada akhir zaman.” (Yoh 6:40). Dan karena Tuhan Yesuslah yang menghakimi
semua orang di akhir zaman nanti, patutlah kita memegang janjiNya ini, dan
dengan iman yang teguh kepada-Nya, kita percaya Dia akan memenuhi janji-Nya.
Terpujilah Tuhan Yesus!
[1] Milard J. Erickson, Teologi Kristen Volume 2, ( Malang: Gandum
Mas, 2003), 289.
[2] Ibid, 290.
[3] Milard J. Erickson, Teologi Kristen Volume 2, ( Malang: Gandum
Mas, 2003), 290.
[4]
Ingrid
Listiati, “Kristus Yang Kita
Imani Menurut Sejarah,”[Artikel Online],
Diambil Dari Http://Www.Katolisitas.Org/501/Kristus-Yang-Kita-Imani-Yesus-Menurut-Sejarah,
Diakses Selasa 27 April 2015.
[5]
Markus Dominggus L. D., “Yesus Sejarah,” [artikel on-line], diambil dari http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=728&res=jpz,
diakses 10 Mei 2015.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] David Friedrich Strauss adalah tokoh Biblical Rationalism
yang memakai filosofi Hegel untuk meneliti hidup Yesus. Buku karangannya
adalah, Life of Jesus Critically Examined, dan ia berkesimpulan
bahwa alkitab adalah mitos dan bukan sejarah.
[9] Ibid.
[10] Listiati.
[11] Erickson, 291.
[12] David Strauss, A New Life of Jesus, edisi ke-2
(London: Williams dan Norgate, 1879),
dikutib dalam Millard J. Erickson, Teologi
Kristen, Volume 2 ( Malang: Gandum Mas, 2003), 291.
[13] Ernest Renan, Life of Jesus,( New York: Grosset dan Dunlap, 1856), dikutib
dalam Millard J. Erickson, teologi Kristen, Volume 2 ( Malang: Gandum Mas,
2003), 291.
[14] Erickson, 293.
[15] Dominggus.
[16] Erickson,293.
[17] Ibid.
[18] Dominggus.
[19] Ibid.
[20] Erickson, 294.
[21] Ibid. 294.
[22] Ibid, 297-300.
[23] Hok Liong’ “Yesus Sejarah
Dan Analisis Redaksi,” [artikel on-line], diambil darihttp://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=735&res=jpz,
diakses 10 mei 2015.
[24] Ibid.
[25] George Eldon
Ladd, Teologi Perjanjia Baru:Jilid 2
(Bandung:Kalam Hidup, 2014), 150-151.
[26] Istila mitologis
disini menunjukkan unsur apa saja yang melampaui pengalaman historis manusia
biasa, seperti yang supranatural atau mukjizat.
[27] Ladd, 153.
[28] Ibid, 154.
[29] Nico Syukur Dister,OFM, Teologi Sistematika 1, Allah Penyelamat, Yogyakarta: Penerbit kanisius, 2004, 188-190.
[30] Ibid.
[31] Ladd 156.
[32] Kemuliaan yang
diperoleh Yesus dengan kebangkitan Nya di kalangan Yunani tidak diungkkapkan
dengan nama “Khristos” yang seluruhnya bersifatdan berlatar belakang Yahudi,
melainkan dengan nama kehormatan yang khas Yunani, yakni Tuhan “Kyrios”,. Dengan demikian memang tidak diungkapkan
sifat historis, khususnya tempat Yesus dalam kesejarahankeselamatan, tetapi
segalah perhatian langsung diarahkan kepada kemuliaan dan kekuasaan Pribadi
Yesus. Lebih lagi, karena nama “Kyrios” dalam LXX dipergunakan untuk
Allah sendiri, maka dengan nama ini lebih diungkapkan keluhuran dan kedudukan
tinggi Yesus. Dengan demikian kata “Kyrios” tidak seluruhnya mengganti nama
“Kristos” . kata “Kiryos”
mempunyai latar belakang, dan oleh karena itu juga arti yang khusus. Bukan peristiwa keselamatan, melainkan
pribadi Kristus yang ditonjolkan. Akan
tetapi, justru dalam Kristologinyakelihatan bahwa Paulus sendiri lebih berpikir
dari latar belakang Yahudi daripada alam
pikiran Yunani. Bagi Paulus, Kristus
adalah pertama-tama seorang tokoh historis, jalam keselamatan Alah. { T. Jacobs SY., Paulus, Hidup, Karya dan Teologinya, (Yogyakarta: Kanisius & Jakarta: PT BPK
Gunung Mulia, 1983), 133.}
[33] Ladd 158
[34] Eckhard J. Schnabel, Rasul Paulus sang Misionaris:
Perjalanan, Strategi, dan Metode Misi Rasul Paulus (Yogyakarta: ANDI Offset,
2010), 198-199.
[35] Ladd 158.
[36] Enklark, 199.
[37] Selengkapnya dapat
dilihat dalam “Duabelas Pengakuan Iaman
Rasuli” yang dihafalkan dan katakana
secara bersama-sama dalam setiap ibadah gereja protestan.
No comments:
Post a Comment